10 Persepsi
Persepsi
(Bersumber dari Girimananda Sutta)
Tidak terasa bahwa SPD di Vihara Samaggi Viriya telah mencapai hari ke-29. Di hari ke-29 ini, saya mendapatkan kesempatan untuk mendengarkan Dhammadesana yang dibawakan oleh Y.M. Jayasilo. Beliau membawakan topik tentang persepsi. Diawali dengan sebuah kisah tentang seorang Bhikkhu yang sakit dan akhirnya sembuh karena penjelasan mengenai 10 persepsi. Beginilah kisahnya:
Pada suatu ketika Sang Buddha sedang menetap di Savatthi di Hutan Jeta. Pada di saat itu pula, Yang Mulia Girimananda sedang sakit, menderita, sakit keras. Yang Mulia Ananda merasa kasihan terhadap keadaan tersebut, lalu Beliau menemui Sang Buddha dengan maksud agar Sang Bhagava berkenan menjenguk Yang Mulia Girimananda. Namun, Sang Buddha menjelaskan Bhikkhu Girimananda mungkin saja sembuh dan terbebas dari sakit dan penderitaannya, jikalau, Bhikkhu Ananda berkenan menjenguk dan menjelaskan tentang 10 persepsi kepada Beliau. Ke-10 persepsi ini adalah sebagai berikut:
1. Aniccasañña, persepsi mengenai ketidak-kekalan;
2. Anattasañña, persepsi mengenai tanpa-diri / tanpa-aku;
3. Asubhasañña, persepsi mengenai tidak indah;
4. Adinavasañña, persepsi mengenai bahaya;
5. Pahanasañña, persepsi mengenai meninggalkan;
6. Viragasañna, persepsi bosan;
7. Nirodhasañña, persepsi lenyapnya;
8. Sabbaloke anabhiratasañña, persepsi bahwa apa yang ada di dunia tidak menarik;
9. Sabbasankharesu aniccasañña, persepsi bahwa segala sesuatu akan berubah;
10. Anapanasati, perhatian pada pernapasan.
Aniccasañña, seperti yang terlihat jelas dalam istilah ini adalah tentang adanya anicca atau ketidak-kekalan. Segala kondisi tidak ada yang kekal. Bentuk (rupa) tidak kekal, perasaan (vedana) tidak kekal, begitu juga persepsi tidak kekal. Hasil dari kamma ntah bahagia atau menderita juga tidak ada yang kekal. Dari persepsi seperti inilah seseorang bisa merenungkan bahwa segala sesuatu pasti timbul dan lenyap, tidak kekal. Ketika seseorang berbahagia karena mendapatkan suatu hal yang menarik, enak, menyenangkan, hal ini pun ada batasnya. Begitu sebaliknya, ketika timbul emosi, amarah, benci, semua itu pun akan berlalu. Dari pemahaman itulah, seseorang bisa hidup tanpa melekat.
Anattasañña, persepsi mengenai tanpa-diri atau tanpa-aku. Melalui persepsi, seseorang menjadi paham dan sadar bahwa apa yang ada di tubuh bukanlah milik-aku. Kelima indera, mata, telinga, lidah, kulit, hidung semuanya adalah tanpa-diri. Begitu pula dengan pikiran dan berbagai fenomena dalam pikiran yang selalu timbul dan lenyap adalah tanpa-diri. Dengan pemahaman demikian, seseorang menjadi tidak khawatir ketika dirinya sakit. Karena badan dan batin memiliki sifat tidak kekal dan tanpa-diri.
Asubhasañña, persepsi mengenai tidak indah. Banyak manusia yang bangga akan ketampanannya, kecantikkannya, bahkan kemolekkan tubuhnya. Mereka terbuai akan pesona yang bersifat sementara. Faktanya, dari ujung rambut hingga telapak kaki, tubuh manusia tidak bukan hanya seonggok daging, darah, yang penuh dengan berbagai jenis kotoran. Cantik luarnya, jika anda sudah melihat jantung, hati, limpa, anda sendiri mungkin merasa jijik. Keringat, tinja, darah, nanah, cairan sendi, ingus, air seni, semuanya dihasilkan oleh tubuh kita. Maka dari itu, sebenarnya tidak ada yang menarik dari tubuh ini.
Adinavasañña, persepsi mengenai bahaya. Ketika seseorang sudah memiliki persepsi mengenai ketidak-menarikan akan tubuh yang sebenarnya penuh dengan kotoran, hendaknya seseorang memahami sifat lain dari tubuhnya. Tubuh kita ini rentan terhadap penyakit dari bakteri, jamur, virus, dll. Berbagai penyakit bisa saja muncul dari tubuh kita, mulai dari linu, sakit mata, buta, tuli, bisu, stroke, bahkan kanker. Tanpa adanya kewaspadaan, maka tubuh ini akan dengan mudah terserang bahaya. Inilah keadaan tubuh yang sesungguhnya, tidak menarik dan sarang penyakit.
Pahanasañña, persepsi meninggalkan. Dalam pikiran manusia, sering kali muncul niat yang mengawali segala tindakan. Niat ataupun nafsu bisa bersifat baik namun juga bisa bersifat buruk. Ketika muncul hal yang buruk, hendaknya seseorang bisa meninggalkan, menjauhi, menghalau, menghentikan, dan melenyapkannya. Hal apapun yang buruk, seperti keingingan / nafsu anda untuk mengambil barang yang bukan milik anda, pikiran yang tidak bermanfaat, keinginan untuk bunuh diri, serta berbagai hal yang tidak bermanfaat, lepaskan, tinggalkan semua itu, maka fisik anda menjadi sehat, batin anda pun lebih nyaman.
Viragasañña, persepsi bosan. Bosan disini ibarat anda makan sampai kenyang. Ketika anda merasa kenyang, anda akan enggan jika ditawari lagi makanan lain maupun yang sama. Persepsi cukup bisa saja muncul. Begitu pula, ketika kita berlatih meditasi, kadang kala terjadi hal-hal yang sama, kalau tidak begini ya begitu, terus seperti itu, dari hal yang bersifat seperti itu, persepsi bosan muncul. Kita bisa lebih jelas dalam memandang fenomena yang muncul di sekitar kita, toh cuman begitu-begitu saja, kalau sesuatu muncul ya pasti lenyap. Bahkan yang dikatakan sebagai Jhana pun, kalaupun kita sudah berhasil mencapainya, pada akhirnya juga begitu-begitu saja sifatnya. Dari munculnya persepsi ini, batin seseorang bisa menjadi lebih damai, tenang, sampai berhasil mencapai kebahagiaan sejati yaitu Nibbana.
Nirodhasañña, persepsi lenyapnya. Dengan menyadari bahwa tidak ada yang menarik dari tubuh ini, segala kondisi pasti berubah dan begitu-begitu saja sifatnya dan dapat merasakan kedamaian, seseorang bisa lebih damai karena setahap demi setahap kotoran batinnya telah dilepas / dikikis, nafsu pun bisa dilenyapkan, tidak lagi melekati segala hal, hidupnya menjadi damai, tenang, dan semakin dekat dengan Nibbana. Dengan pemahaman seperti ini, seseorang bisa mengarahkan hidupnya menuju pencapaian kesucian.
Sabbaloke anabhiratasañña, persepsi bahwa apa yang ada dunia tidak menarik. Karena keadaan dunia selalu berubah, hanya begitu-begitu saja, muncul persepsi bahwa dunia ini tidak menarik. Maka seseorang bisa lebih mengendalikan dirinya terutama ke-6 indrianya untuk tidak melekat, membatasi pikirannya dari hal-hal yang tidak bermanfaat, bahkan setahap demi setahap melenyapkan kotoran batinnya.
Sabbasankharesu aniccasañña, persepsi segala fenomena / kondisi selalu berubah. Bahagia, menderita, keadaan Jhana, apapun yang telah kita raih, semuanya bisa berubah. Kembali, kita diingatkan bahwa anicca itu ada. Ketika tubuh dan batin seseorang menjadi lebih baik, ada kalanya muncul masalah dan segalanya berubah. Seseorang haruslah siap akan perubahan tersebut. Femonena apapun yang terkondisi sifatnya selalu berubah, memuakkan, sehingga tidaklah pantas seseorang melekatinya.
Anapanasati, perhatian pada pernapasan. Anapasati adalah suatu objek yang dipakai dalam latihan meditasi. Dimana seorang yogi berfokus pada keluar masuknya napas dalam kurun waktu tertentu. Dengan latihan ini, seseorang melatih perhatiannya / sati.
"Menarik napas panjang, ia mengetahui: Aku menarik napas panjang; atau mengembuskan napas panjang, ia mengetahui: aku mengembuskan napas panjang; begitu pula ketika menarik napas pendek, ia mengetahui: Aku menarik napas pendek; atau mengembuskan napas pendek, ia mengetahui: Aku mengembuskan napas pendek."
Melalui pengawalan seperti inilah, seseorang selalu melatih perhatiannya dalam segala kondisi dan aktifitas, baik fisik ataupun pikiran. Apapun kondisinya, kita akan selalu menarik ataupun mengembuskan napas. Ketika merenungkan ketidak-kekalan, tanpa-diri, ketidak-indahan, bahaya, pelepasan, lenyapnya, ia selalu akan mempusatkan perhatiannya pada pernapasan. Inilah yang disebut sebagai perhatian pada pernapasan. Bukan hanya dalam praktik meditasi, seseorang hendaknya bisa menerapkan perhatian ini dalam segala aktifitasnya sehari-hari.
Ketika Yang Mulia Ananda telah mempelajari 10 persepsi ini dari Sang Buddha, seperti yang diminta, Ia mengunjungi Yang Mulia Girimananda dan menyampaikannya. Ketika Yang Mulia Girimananda mendengar tentang kesepuluh persepsi ini, penyakitnya seketika mereda dan Beliau pun sembuh dari penyakitnya. Inilah kesepuluh persepsi yang hendaknya diketahui oleh seseorang. Mengingatnya mungkin mudah, namun memahaminya mungkin bukan hal yang mudah. Pemahaman harus disertai bukti nyata dalam praktik. Itulah yang dikehendaki oleh Bhante Jayasilo dalam penjelasannya. Tidak mudah, memang tidak mudah, namun bukan berarti tidak mungkin.
Manfaatnya sungguh besar bagi orang sakit. Bagi yang sehat pun juga bermanfaaat karena dengan 10 persepsi ini kita bisa mengendalikan ke-6 indria kita, sehingga kotoran batin terkikis, nafsu lenyap, kita tidak menderita. Realitanya dalam kehidupan sehari-hari seperti ini, ketika kita dihadapkan dengan keadaan jalan macet, seseorang cenderung marah atau tidak menyukai keadaan tersebut. Apalagi sudah macet ada yang berusaha mendahului secara paksa, jengkelnya minta ampun. Panas di dalam mobil, ditambah panas di dalam hati, pastinya penderitaan. Namun, kalau kita paham betul-betul tentang 10 persepsi itu, itulah kesempatan bagi kita untuk tidak harus emosi dan menderita. Manfaat 10 persepsi ini adalah bekerja ke dalam diri kita masing-masing. Ketika hendak marah, kita menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya. Ketika masih belum habis kebenciannya, tarik napas lagi dan embuskan. Dengan begini, seseorang tidak harus marah dan menderita. Melalui pelatihan perhatian seperti ini, ada kedamaian, ada kebahagiaan dalam diri kita masing-masing.
Macet akan berlalu. Punggung encok biarkan saja, tubuh itu rapuh jadi pasti ada sakit. Tinggalkan amarah, lenyapkan kotoran batin dan pelekatan. Sadari kembali rutinitas kita cuman begitu-begitu saja, tidak ada yang menarik. Kalau sudah lancar, terjebak macet lagi, tarik napas embuskan, fenomena memang akan selalu berubah. Mudah? Tidak juga, tapi dengan selalu membawa bekal perhatian, seseorang tidak harus menderita. Jasmani mungkin saja sakit, batin tidak perlu sakit. Demikianlah yang bisa saya tuliskan kembali, semoga membawa manfaat bagi kita semua...(Indra, 17 Mei 2019)
Komentar
Posting Komentar