Yakin dan Bijaksana : Aku adalah Pewaris Kammaku Sendiri

"Perbuatan apapun yang akan mereka lakukan, baik ataupun buruk, perbuatan itulah yang akan mereka warisi."

Tidak terasa bahwa kami sudah sampai pada hari ke-5 dalam acara Sebulan Pendalaman Dhamma yang diadakan di Vihara Samaggi Viriya Malang. Malam ini dhammadesana disampaikan oleh Bhante Khemadharo. Topik yang dibawakan oleh Bhante adalah sepotong kalimat dari salah satu bacaan yang terdapat di dalam buku Paritta Suci, yaitu Brahmavihara, yaitu kammadayada, yang diartikan bahwa (aku) adalah pewaris karma(ku) sendiri. Sedikit ulasan yang mampu saya tuliskan berdasarkan apa yang telah disampaikan oleh Bhante, sebagai berikut:

Bhante mengawali dhammadesana dengan mengingatkan apa yang bisa kita lakukan di vihara baik sebagai umat, sebagai pengurus, maupun sebagai orang tua. Sebagai umat, yang pasti, kita bisa menunjukkan semangat kita dalam berbuat baik, mendengarkan Dhamma, mendukung segala kegiatan yang telah diadakan oleh pengurus vihara, seperti contoh SPD yang diadakan menjelang Hari Suci Waisak. Suatu kesempatan yang besar bagi kita untuk bisa bertemu Bhante, memberikan dana makan kepada Bhante, bahkan mendengarkan Dhamma (Bahusutta) untuk bisa dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.

Sebagai karaka-sabha atau pengurus vihara, beliau-beliau dengan penuh semangat telah berupaya mengundang banyak pembicara untuk memfasilitasi umat yang hadir untuk mendengarkan dan memahami Dhamma. Dalam menjalankan diri sebagai umat maupun sebagai pengurus, kita harus bisa membekali diri dengan kegiuran. Kegiuran akan apa? Kegiuran akan Dhamma. Seperti apa kegiuran itu? Ketika anda melakukan perjalanan jauh, dan anda merasa sangat haus, anda menemukan suatu tempat dimana anda bisa beristirahat dan minum, anda pasti merasa bahagia. Itulah kegiuran. Kebahagiaan dalam Dhamma hendaknya juga seperti saat anda haus dan mendapatkan minuman yang melegakan.

Namun, kegiuran ini tak serta merta muncul jika anda belum memiliki saddha / keyakinan. Saddha pun kurang lengkap tanpa adanya panna / kebijaksanaan. Keyakinan tanpa kebijaksanaan berarti keyakinan yang membuta. Bijaksana artinya anda mau hadir ke vihara, mendengarkan Dhamma, memahaminya, serta mempraktikkannya. Jika timbul kebahagiaan, maka anda pun bisa melakukan terus menerus dan menjadikan suatu kebiasaan.

Begitu pula peran orang tua begitu penting, bagaimana orang tua bisa menumbuhkan keyakinan yang bagus bagi anaknya akan mempengaruhi kondisi anak tersebut. Banyak tokoh-tokoh terkenal pada masa kehidupan Buddha Gautama dimana mereka dengan penuh keyakinan memanfaatkan hartanya untuk menyokong kehidupan Buddha dan juga para murid-Nya dengan tanpa pamrih. Salah satu dari sosok yang terkenal itu adalah Sudatta atau yang lebih dikenal dengan Anathapindika.

Anathapindika terkenal sebagai pendana unggul yang mendanakan jutaan keping emasnya untuk membangun vihara bagi Buddha dan murid-murid-Nya. Di Vihara Jetavana, Sang Buddha menghabiskan 18 vassa. Anathapindika adalah seorang perumah tangga yang begitu yakin dengan sosok Buddha, bahkan ia telah mencapai kesucian sotapanna. Pada suatu ketika, ia berpikir untuk berdana mendukung Sang Buddha dengan membangunkan suatu vihara yang letaknya strategis dan tenang sesuai permintaan Sang Buddha.

Anathapindika menemukan suatu lokasi milik Pangeran Jeta di kota Savathi. Awalnya, Pangeran Jeta bersih-keras untuk tidak menjual tanah tersebut. Dan dengan sedikit meremehkan, Sang Pangeran berkata bahwa ia hanya akan menjual tanahnya jika ada orang yang mampu menutupi seisi tanahnya dengan kepingan emas. Anathapindika menyanggupinya. Hal tersebut membuat Pangeran Jeta kaget, dan ia mengubah pendapatnya bahwa ia tidak ingin menjual tanah tersebut. Terjadi perdebatan hingga akhirnya diputuskan bahwa yang benar adalah Anathapindika. Melihat kebaikkan dan keyakinan sang perumah tangga, Pangeran tersebut tergugah hatinya dan ikut mendanakan sisa tanah yang belum tertutupi keping emas.

Selain menjadi pendukung kehidupan Sang Buddha yang unggul, Sudatta merupakan sosok orang tua yang bijaksana. Ia ingin mewariskan keyakinan dan kebijaksanaan yang ia miliki kepada anaknya. Namun, ya namanya anak kecil lebih sering menurutin permintaan orang tuanya jika ada hadiahnya. Pertama-tama, sang ayah meminta anaknya untuk pergi ke vihara mendengarkan apa yang disampaikan oleh Sang Buddha dan menceritakan kembali ke ayahnya dengan iming-iming hadiah. Suatu saat, si anak dengan antusias tergugah dengan salah satu ceramah yang disampaikan oleh Sang Buddha. Ia pulang menceritakan ke ayahnya, dan tidak ingin lagi diberi hadiah.

Sekali lagi, perlu diingat dengan baik, keyakinan tanpa dilengkapi dengan kebijaksanaan adalah keyakinan yang membuta. Dalam agama Buddha, kebijaksanaan itu dapat dikategorikan ke dalam 3 level, yaitu sebagai berikut:

-Sutta maya panna, seperti yang tertulis, keyakinan bisa timbul di saat kita mau mendengarkan maupun membaca sutta.

-Cinta maya panna, levelnya lebih tinggi, yaitu keyakinan yang timbul ketika kita berpikir. Sayangnya, dua kebijaksanan ini belum menjadi yang terbaik, karena belum bisa menembus kotoran batin.

-Bhavana maya panna, ialah kebijaksanaan yang menjadi tujuan umat Buddha, yaitu membersihkan kotoran batin melalui Bhavana. Dengan kata lain, melatih Sati untuk menjadi bijaksana.

Dengan berbekal saddha dan panna, seseorang bisa melengkapi dirinya dengan melakukan perbuatan baik. Contoh yang paling mudah, ya pada saat anda berdana makan untuk Bhante. Mengutip ulang kalimat yang pertama kali saya tuliskan, perbuatan apapun yang dilakukan, baik ataupun buruk, merekalah yang akan mewarisinya. Tak perlu ditakutkan, ketika anda melakukan hal yang baik dengan cara yang tepat, maka buah kamma baik suatu saat pasti dituai. Mengapa kok saya tulis tepat?

Ya, masih banyak umat yang lucu kadang kala saat mendanakan sesuatu kepada Bhante. Contohnya, ketika orang ini bisa masak sendiri dan mempersembahkan makanannya kepada Bhante. Dalam hati, ia sangat mengharapkan makanannya bisa dimakan oleh Bhante. Jika tidak dimakan, malah muncul rasa kecewa. Perbuatan bajik yang begini masih bisa disebut dana tapi tidak sempurna karena masih melabeli dengan aku (itu masakanku, aduu makananku kok ndak dimakan sama Bhante ya, dll.). Kejadian lain yang mungkin terjadi adalah ketika masa Kathina. Ada umat yang mampu berdana jubah ke Bhante dengan pikiran bahwa jubah yang dia danakan harus dipakai oleh Bhante. Maka dari itu mungkin saja dia akan mengupayakan segala cara agar ingat dan bisa melihat jubahnya dipakai Bhante. Mungkin dengan cara membuat tanda L di kain jubah Bhantenya, ataupun yang lain.

Lucu kan, tapi faktanya masih ada yang seperti itu. Mereka yakin dan ingin berbuat baik tapi mereka tidak bijak. Mereka lupa kalau sesuatu sudah diberikan ke orang lain ya bukan punya mereka lagi. Aku memang pewaris karmaku sendiri. Namun, kalau kita belum bisa menghilangkan keakukan dari pikiran kita, yang ada malah penderitaan. Maka dari itu, jangan ragu dan lalai untuk berbuat bajik tanpa pamrih terutama di masa SPD ini. Terus belajar dan mendengarkan Dhamma di waktu yang tepat. Dengan berbekal saddha, viriya, sati, samadhi, dan panna, diyakini anda akan semakin tergiur untuk belajar dan praktik Dhamma.

Ehipassiko memang berarti datang dan buktikan. Tapi tanpa bekal kebijaksanaan, anda bisa saja salah dan celaka. Jangan sampai karena melihat menariknya variasi aroma dari obat nyamuk, anda memutuskan untuk membuktikkan nikmatnya minuman tersebut dengan meminumnya. Itu akan fatal bagi anda. Namun, Dhamma bukan seperti itu. Melalui Dhamma terdapat kebahagiaan. Apapun yang kita perbuat, kitalah yang akan mewarisinya. Namun, walaupun ada 2 pilihan, kenapa tidak kita wariskan yang baik untuk anak cucu kita. Warisan kebaikan dalam Dhamma jauh lebih berharga daripada warisan harta benda. Demikian yang bisa saya tuliskan lagi, semoga semua makhluk berbahagia...

Sadhu, Sadhu, Sadhu

Komentar

Postingan Populer