Menempuh Kehidupan yang Benar dan Berkualitas

"Bangun! Jangan Lengah! Tempuhlah kehidupan benar,

Barangsiapa menempuh kehidupan benar, maka ia akan hidup bahagia di dunia ini maupun di dunia berikutnya,"

(Dhammapada 168)

Sotthi hontu sahabat-sahabat dalam Dhamma, bahagia bagi saya bisa kembali mendengarkan Dhamma di waktu yang tepat. Masih dalam rangka SPD dan kembali diisi oleh Bhante Abhayanando Thera. Semalam Beliau berbicara mengenai proses, perjuangan, serta hasil. Untuk menggapai hasil kita harus mampu berjuang untuk menjalani prosesnya. Perjuangannya tidak mudah, jalannya berliku-liku, tapi kita harus berjuang untuk tidak berhenti. Masih berhubungan dengan topik kemarin, malam ini Jumat, 26 April 2019, Bhante menyampaikan topik mengenai hidup dan kehidupan. Dari apa yang saya dengarkan, saya menyempatkan diri untuk sedikit menuliskan ulasan yang begitu bermanfaat, sebagai berikut:

Bhante mengawali dengan berbicara mengenai manfaat melakukan puja bagi kita. Dimana kita telah mampu merelakan waktu kita datang ke vihara, mendekatkan diri kita kepada Tiratana. Caranya bagaimana? Ya, tidak lain dengan mempraktikkan Dhamma. Anda telah melantunkan palivacana yang isinya sutta, ajaran Sang Buddha. Namun, semua akan sia-sia jika anda tidak fokus, tidak berkonsentrasi. Begitu pula saat anda bermeditasi, tanpa fokus dan perhatian kepada objek, pikiran baik tidak akan terkondisikan untuk muncul. Manfaat puja begitu besar terutama bagi kehidupan anda.

Kita sudah belajar mengenai perjuangan, perjuangan yang membuat kita memiliki kualitas. Proses yang kita pahami, kita jalankan tanpa menunda. Malam ini kita bicara tentang hidup dan kehidupan. Kita memang hidup, tapi pertanyaannya bagaimana kita bisa hidup berkualitas, bukan sekedar hidup. Kalau sekedar hidup, mungkin mudah. Hanya butuh sandang, papan, pangan, kita bisa hidup. Tapi hidup yang berkualitas tidak sesederhana itu. Apa sih hidup yang berkualitas itu? Nanti akan saya jelaskan.

Hidup itu jugalah kumpulan proses. Hidup itu menurut orang-orang ternyata banyak variasinya. Ada yang bilang hidup itu penuh dengan rintangan. Hidup ternyata unik. Ada juga yang berkata hidup ini penuh dengan lika-liku. Inilah filosofi kehidupan yang dipercaya. Dalam sehari-hari ketika Bhante berada di daerah pembinaan, banyak terdengar keluhan-keluhan. Ada yang bilang aduu hidup itu susah, berliku-liku. Ada yang pasrah juga. Tapi, rata-rata orang percaya bahwa menjalani kehidupan itu memang tidak mudah, apalagi hidup yang berkualitas. Itu sulit memang. Dalam Dhammapada 168-169 yang saya tuliskan di atas tadi, tertuliskan bahwa kita harus bangun, tidak boleh lengah. Kita harus bisa menempuh kehidupan dengan benar. Jika berhasil, kita bisa bahagia baik di alam ini maupun di dunia berikutnya.

Maka dari itu tepat sekali, kita butuh hidup yang berkualitas bukan yang seadanya. Kita harus sadar, bangun, tidak lengah, menjalankan kehidupan dengan benar. Dengan benar maksudnya sesuai dengan Dhamma. Kembali ke keluhan-keluhan tadi, sangat bervariasi keluhannya, ada yang bahkan sampai stress masuk ke rumah sakit jiwa. Mengapa bisa begitu? Karena adanya luka batin, tekanan batin, yang tidak dilepas-lepas. Kok bisa sampai begitu? Manusia itu cenderung subjektif melihat kehidupannya. Yang artinya, kita cenderung melihat 1 sisi kehidupan. Maunya manusia ya yang enak-enak saja, kalau bisa tidak mau yang sisi buruknya.

Hidup itu ibarat pahit dan manis. Kita cenderung maunya kalau bisa ya yang manis saja jangan yang pahit. Kita bisanya berharap apa yang terjadi sesuai dengan harapan kita. Maunya nyaman. Maunya hidup panjang. Maunya ndak pernah rugi, untung terus. Obat saja sekarang dibuat rasanya macam-macam, tapi belum tentu manjur juga. Fakta kehidupan atau realitanya sangat berbeda dengan harapan. Kalau ada untung ya pasti ada rugi. Kalau ada kesuksesan ya pasti ada kegagalan. Kalau ada bahagia ya pasti ada menderita. Kalau ada yang dipuji pasti ada yang dicela. Kadang kala anda bisa dielu-elukan karena sifat baik anda, tapi kadang kala ada saat dimana anda dicampakkan. Inilah 8 kondisi kehidupan kita yang pasti kita hadapi *(lobha - alobha, yaso  ayaso, ninda  pasamsa, sukkha  dukkha)*. Tidak bisa kita hanya menginginkan 1 sisi saja, untung terus, bahagia terus.

8 hal tadi itu fakta kehidupan anda. Adakah dari kita yang dari lahir sampai sekarang bahagia terus? Oh, pasti ada penderitaan. Tapi apakah menderita terus? Tidak juga. Adakah dari kita yang selalu dipuji terus? Adakah dari kita yang untung terus pekerjaannya? Tidak ada yang seperti itu. Ada untung selalu ada rugi. Inilah makanya kita ini cenderung subjektif. Karena hal ini, manusia sukanya mencari-cari, bagaimana caranya bahagia terus, untung terus. Ada kelompok manusia pergi ke gua-gua, untuk perlindungan, untuk perasaan nyaman, ada rasa aman. Tapi, semua itu sifatnya hanya sementara, tidak kekal.

Ketika ada hal baik, seperti perlindungan, kita terlalu dimanjakan, maka bahayanya kita menjadi tidak siap menjalani sulitnya kehidupan. Maka, kita harus memahami dan menerima bahwa 8 kondisi itu adalah fakta kehidupan. Pahit dan manis harus anda terima. Ada saatnya kita untung terus, kita harus siap rugi. Ada saatnya kita dipuji terus, kita juga harus siap suatu ketika bila kita tercampakkan. Persoalannya, kalau hal-hal itu menghampiri kita, sudah siap kah kita? Mengapa kok begitu? Karena jujur saja, untuk menjalani kehidupan itu tidak mudah. Apakah menurut anda hanya dengan baca paritta anda bisa lebih baik? Tidak, karena dibutuhkan banyak faktor yang mempengaruhi kehidupan anda. Banyaknya persoalan kehidupan sering kali membuat orang menyatakan tidak sanggup. Selesai 1 datang lagi, selesai 1 datang lagi, kalau hanya 1-2 kali masih tahan, kalau lebih dari itu muncul saya tidak sanggup.

Tidak sanggup memunculkan perasaan takut, khawatir, dll. Ada yang berkata kepada Bhante, bahwa dirinya itu sudah tua, apakah dia masih sanggup? Kalau saya bangkrut bagaimana ya? Kalau ini kalau itu banyak hal yang menyinggahi batin orang-orang itu. Apa penyebabnya? Ya, karena tidak siap menjalani proses kehidupan itu. Tidak hanya 1 orang, banyak yang begitu. Ada seorang umat yang bertemu Bhante, ia punya masalah, kalau ketemu selalu nangis. Setelah sharing-sharing, ketahuan ternyata dia tidak siap. Dia cerita dulunya usahanya lancar, semuanya lancar, materi cukup. Ketika usahanya mulai menurun, eh dia tidak siap, cemas, takut, khawatir. Supaya bisa tidur nyenyak, terpaksa ia minum obat tidur. Untung ada temannya mengingatkan dia untuk coba datang ke vihara. Setelah dia semakin mengenal Dhamma, praktik, meditasi, lama-lama dia bisa menghadapi. Apa masalahnya berhenti di sana? Oh pasti, muncul berhenti muncul berhenti, terus begitu. Dia awalnya masih galau. Tapi dia mulai bisa mengatasinya, ketika ada goncangan berikutnya, ia bisa mengobatinya sendiri. Ternyata, hidup itu termasuk proses perjuangan. Ketika kita berhasil menghadapi 1, muncul lagi. Tidak mudah ternyata. Solusinya apa? Bangun! Jangan lengah! Tempuhlah kehidupan yang benar!

Bangun artinya kita itu harus sadar untuk selalu membangun mental kita. Membangun mental kita dengan tujuan membuat mental positif. Dari sanalah batin kita menjadi dewasa. Sekali lagi diingatkan membangun mental positif itu tidak mudah. Kadang kala kita lelah latihan, kita bosan latihan. Membangun mental, mendewasakan batin, butuh latihan, butuh konsentrasi. Kita juga butuh belajar dari pengalaman sekalipun pengalaman itu membuat ktia tidak nyaman. Orang bijak mengingatkan kita bahwa setiap yang kita lalui itu ada hikmahnya. Hal ini muncul supaya kita berpikir positif. Karena jika tidak, disaat ketidaknyamanan muncul, hal buruk muncul, kita terkalahkan dengan kondisi tersebut. Pikiran buruk akan muncul. Anda lengah, tidak bangun lagi. Harusnya anda segera menyadari segala yang terjadi. Kalau terjadi keterpurukkan, sadari oh iya saya harus bangkit, harus bangkit.

Terdapat 3 faktor mental yang harus anda miliki. Yang pertama adalah harus ikhlas. Waa, ikhlas itu tidak mudah. Ketika kita mengingat-ingat hal buruk yang sudah terjadi, terus mengingat, kita jauh dari kebahagiaan. Hidup kita jauh dari kenyamanan. Yang sudah berlalu biarkan berlalu, jadikan pelajaran berharga bagi perjalanan hidup kita selanjutnya. Ikhlas bisa muncul kalau kita bisa melepas. Beban menjadi besar dalam batin kita karena kita tidak mau melepas. Kalau anda dicela orang, dan anda selalu mengingat bahwa dia mencela saya, dia mencela saya, hal buruklah yang akan muncul. Jangan mengingat hal buruk yang telah muncul. Lepaskanlah! Ikhlas! Hati-hati ketika batin terbebani, kebencian bisa muncul.

Ketika anda menjalankan praktik Dhamma, itulah saatnya anda melatih untuk tidak melekat atau bisa melepas. Bagi kita yang bisa hadir saat SPD, itulah contoh pelepasan. Mungkin ada yang sebenarnya masih ada pekerjaan, ada urusan ini itu, tapi buktinya anda bisa tetap hadir. Itu namanya melepas. Itu namanya kerelaan. Latihan melepas, latihan kerelaan, memantapkan batin kita untuk ikhlas. Kembali pernah ada orang yang mengeluh, Bhante ikhlas itu sulit karena kita terbiasa selalu mengingat-ingat yang sudah terjadi. Ikhlas itu tidak mudah. Kalau kita terbiasa rela melepas, kalau ada masalah yang muncul itu mudah bagi kita untuk dihadapi. Ketika ikhlas itu klop, maka akan muncul solusi yang tepat bagi masalah tersebut. Nyatanya, kalau terjadi masalah, kita selalu tanya kenapa gini, kenapa gitu. Mengeluh, menyalahkan vihara, menyalahkan Sang Buddha, apakah dengan semua itu akan selesai? Tidak, bisa jadi malah tambah parah dan kita akan semakin jauh dengan kebahagiaan. Ini yang terjadi.

Faktor yang kedua adalah perasaan puas atau bersyukur. Banyak orang itu susah untuk mau bersyukur. Kalau setiap saat kita tidak puas, tidak puas, tidak puas, kebahagiaan semakin jauh. Walaupun kecil pun keberuntungan kita, kita harus tetap bersyukur. Kalau sudah begitu, kita jadi lebih dekat dengan kebahagiaan. Tidak ada larangan bagi kita untuk punya harapan lebih. Kalau sudah bisa mencapai hasil sesuai target, syukuri. Kalau belum mencapai target syukuri juga dan evaluasi apa yang belum benar. Maka bersyukur atau perasaan puas (santutthi) jembatan kita mendekatkan diri ke kebahagiaan. Hidup bisa dinikmati dan nyaman.

Faktor mental yang terakhir adalah mengubah cara berpikir kita. Pastinya ke arah yang positif. Tapi, kecenderungannya, pikiran buruk kita sering kali menjauhkan kita dari kebahagiaan. Sebenarnya, risiko kita menjalani hidup ini yaitu kita pasti menemukan berbagai macam hal. Kalau ada kalanya kita ketemu yang manis, pasti kita juga ketemu yang pahit. Dengan mengubah cara berpikir kita, kita bisa beralih dari cara pandang subjektif (ingin yang enak, yang enak, yang enak) menjadi objektif (yang manis ok, yang pahit juga ok). Dari menerima hanya 1 sisi menjadi bisa menerima apa adanya. Banyak orang ingin bisa mengubah kehidupan, maunya yang ini ini, tidak mau yang begitu. Cara berpikir kita mempengaruhi kebahagiaan kita. Ingat anicca, semua tidak kekal. Kalau saat kita di posisi baik, tidak ingat ada posisi buruk, tidak siap, kita bisa kecewa, marah, dll. Anicca. Rugi tidak permanen, menderita tidak permanen, semua bisa berubah. Kalau sudah begitu, baru bisa muncul pikiran positif.

Dari sana kita bisa melihat 8 kondisi itu memang nyata loo. Kita harus mengubah cara pandang kita menjadi objektif tidak bisa selalu subjektif. Menerima apa adanya itu bukan menerima pasif melainkan aktif. Menerima apa adanya itu artinya kita memahami inilah bagian dari proses kehidupan kita apapun yang hadir. Dan kita sadar yang harus kita lakukan selanjutnya. Saat sakit, kita bisa sadar oh sakit itu bisa kadang-kadang datang, solusinya kita sadar pergi ke dokter. Menerima apa adanya berarti menerima dengan bijak. Dalam Dhammapada tertulis, bagi mereka yang telah menerima dengan bijak, maka mereka akan mencapai kebahagiaan. Bagaimana caranya bisa membuat cara berpikir kita menjadi baik?

Caranya dengan bhavana. Jasmani kita sehat, batin kita juga harus sehat. Ketika jasmani kita tidak sehat, mudah, kita bisa sering olahraga, makan makanan yang bernutrisi. Kalau batin? Ya olah batin anda dengan meditasi. Kalau kita sering meditasi, reaksi kita dalam menghadapi masalah akan berbeda, lebih tenang. Dalam hidup itu, ada aksi juga ada reaksi. Jangan sampai kita salah dalam memilih reaksi misal kita sudah terus berbuat baik tapi tidak mendapatkan perkembangan, diputuskan kita berhenti berusaha. Inilah manfaatnya bermeditasi. Penting sekali meditasi itu untuk mengubah cara berpikir kita. Ketika ada waktu coba manfaatkan untuk meditasi. Manfaatnya untuk kita sendiri. Jadikan budaya kalau libur anda bermeditasi. Tapi jangan sampai anda salah paham, meditasi itu bukan obat yang langsung akan menyembuhkan penyakit anda. Kalau belum sempurna, kita harus tetap berlatih, pasti ada perubahan positif. Jangan pula jadikan meditasi sebagai ego.

Ya itulah yang bisa kita bahas soal hidup dan kehidupan. Hidup yang bukan sekedar hidup, tapi hidup yang berkualitas. Untuk mendapatkan kualitas terbaik kita harus memantapkan mental positif kita dengan ikhlas, bersyukur / mudah puas (santutthi), dan mengubah cara hidup kita dengan bisa menerima kondisi dengan bijak. Cara terbaiknya adalah dengan bermeditasi. Kalau anda tidak kuat 1 jam, turunkan 30 menit, kalau masih tidak kuat coba 5 menit, kalau tidak kuat 1 menit, masih tidak kuat 1 detik. Jangan pernah mempermasalahkan waktu anda, 1 detik tetap berharga jika anda mau berusaha, yang terpenting adalah kualitas dan manfaatnya bagi batin kita. 8 kondisi kehidupan itu tidak bisa kita pilih hanya sebagian, maka yang terpenting kita harus siap. Demikian ulasan Dhammadesana kali ini, semoga bisa bermanfaat bagi kita semua... (Indra, 26-04-2019)

Komentar

Postingan Populer