Yang Terbaik adalah Seimbang
Yang Terbaik adalah Seimbang
Oleh: Indra Kurniawan
“Etadaggam bhikkhave mama savakanam bhikkhunam araddhaviriyanam yadidam Sona Koliviso,”
Para Bhikkhu, di antara para Siswa-Ku
yang berusaha keras, Sona dari Suku Kolivisa adalah yang terbaik.
-Gelar Etadagga yang disampaikan Sang
Buddha untuk Thera Sona Kolivisa.
Saudara-saudaraku
dalam Dhamma, kutipan di atas adalah penganugerahan gelar Etadagga yang
disampaikan oleh Sang Buddha kepada salah satu Siswa-Nya yang unggul dalam
usaha keras. Seperti yang kita ketahui, sebagian besar dari Siswa-Siswi Sang
Buddha mendapatkan gelar Etadagga sesuai dengan apa berhasil dicapai oleh para
Siswa-Siswi Mulia. Pada kesempatan ini, saya menyempatkan waktu untuk sedikit membaca kisah Thera Sona yang luar biasa dan saya menemukan hal baik untuk disharingkan.
Marilah sekarang
kita masuk ke topik utama. Setiap dari kita pasti memiliki cita-cita ataupun
keinginan yang ingin kita capai dalam jangka waktu tertentu. Untuk mencapainya,
kadang kala kita bekerja begitu keras dengan menjalani prosesnya untuk mencapai
hasil yang kita ingini. Pertanyaan yang bisa diajukan adalah apakah hasilnya
selalu seperti yang kita harapkan ketika kita melakukan suatu usaha dengan
keras? Mari kita lihat jawabannya dari 2 kisah yang langsung dialami oleh
seorang Bodhisatta dan juga seorang Thera pada masa kehidupan Buddha Gotama.
Sebelum
kita membahas tentang kisah Thera Sona, saya ingin mengulang kembali kisah
Pertapa Gotama menyiksa diri selama 6 tahun. Pasti banyak yang masih ingat akan
kisah ini, setelah melakukan pelepasan agung dengan menjadi seorang pertapa,
Pertapa Gotama berusaha keras dalam pertapaannya untuk menemukan obat dari 3
utusan agung yaitu usia tua, sakit, dan kematian. Ia sempat menjadi murid dari
2 guru hebat pada saat itu namun Ia masih belum puas dengan apa yang telah
dipelajari. Maka dari itu, ditemani oleh 5 pertapa, Pertapa Gotama melakukan
penyiksaan diri yang begitu keras selama 6 tahun. Badannya sangat lemah,
kulitnya menghitam, rambutnya rontok, menyedihkan sekali.
Pada
suatu tahapan, Pertapa Gotama merenungkan tentang perumpamaan sebuah kayu. Perumpaan
pertama menggambarkan kayu yang diletakkan di dalam air dan ada seseorang yang
membawa kayu lain untuk menyalakan api. Kayu tersebut tidak mungkin bisa menghasilkan
api dan akan membawa keletihan dan kesedihan yang sia-sia. Perumpaan kedua
menggambarkan kayu basah yang diletakkan di tanah kering dan masih seperti
perumpaan pertama hal ini pun tidak akan berhasil. Yang ketika adalah kayu
kering yang diletakkan di atas kayu kering dan digosokkan dengan kayu lain ternyata
berhasil menghasilkan api. Keadaan ideal yang ada pada perumpamaan ketiga
mengondisikan keberhasilan bagi orang tersebut. Sama saja dengan kondisi batin
yang pas untuk memperoleh Penerangan Agung bagi seorang Pertapa.
Setelah
merenungkan hal tersebut, Pertapa Gotama menyadari bahwa penyiksaan diri yang
dilakukan tidak menghasilkan hal yang bermanfaat. Maka Ia pun memutuskan untuk
menghentikan usaha sia-sia tersebut dan mulai makan lagi. Kelima pertapa
lainnya merasa kecewa akan hal itu dan meninggalkan Pertapa Gotama.
Pada
suatu hari, lewatlah serombongan penari ronggeng dekat gubuk Pertapa Gotama. Mereka
berjalan sambil bergurau dan bergembira lalu seseorang menyanyi dengan syair, “Kalau
tali gitar ditarik terlalu keras, talinya putus, lagunya hilang. Kalau ditarik
terlalu kendor, ia tak dapat
mengeluarkan suara. Suaranya tidak boleh terlalu rendah atau keras. Orang yang
memainkannyalah yang harus pandai menimbang dan mengira.” Dengan heran, Pertapa
Gotama menoleh pada serombongan penari ronggeng tersebut, dalam hatinya ia
berkata, “Sungguh aneh keadaan di dunia ini bahwa seorang Bodhisatta harus
menerima pelajaran dari seorang penari ronggeng. Karena bodoh aku telah menarik
demikian keras tali kehidupan, sehingga hampir-hampir saja putus. Memang seharusnya
aku tidak boleh menarik tali itu terlalu keras atau terlalu kendor.”
Dari
perumpamaan kayu dan juga tali senar ini, Bodhisatta memperoleh semangat
hidup-Nya kembali dan mulai kembali ke arah yang benar untuk mencapai
Pencerahan Sempurna. Kisah selanjutnya adalah tentang seorang Siswa Sang Buddha
yang juga tidak kalah luar biasanya. Sebelum terlahir pada masa Buddha Gotama,
dalam era Buddha Padumuttara, ia terlahir dalam keluarga pedagang dan
mendapatkan nama Sirivaddha. Seperti kisah Thera-Thera pada umumnya, suatu
ketika ia mendengarkan Buddha Padumuttara menganugerahkan gelar Etadagga kepada
salah satu siswanya yang unggul dalam berusaha kerasa (araddha-viriya). Singkat
cerita, timbul keinginan dan tekad dari dirinya untuk bisa mendapatkan gelar
yang sama dalam masa kehidupan mendatang. Ia pun terus berbuat baik kepada
Buddha dan terlahir kembali di alam yang membahagiakan.
Suatu
ketika, ia terlahir dalam keluarga yang baik. Pada kehidupannya saat itu,
hiduplah seorang Pacceka Buddha yang ingin menetap di sekitaran Sungai Gangga
untuk mendapatkan dana makanan. Sang Pacceka Buddha ingin membangun sebuah
tempat tinggal di dekat Sungai Gangga tersebut. Ketika berada di sekitar sungai
tersebut, si pemuda dan teman-temannya bertemu dengan Pacceka Buddha, setelah
menghormat, mereka menanyakan maksud dari Pacceka Buddha tersebut. Mereka pun
sepakat untuk membantu Pacceka Buddha membangun tempat tinggal tersebut. Bahkan,
ia pun berdana makanan kepada Pacceka Buddha selama masa vassa. Pada hari yang
ditetapkan pun, tempat tinggal Pacceka Buddha pun berhasil dibangun, namun ada
lokasi yang berlumpur yang dipenuhi kotoran sapi. Si pemuda dengan penuh rasa
hormat membentangkan selimutnya yang berwarna merah yang harganya seratus ribu
keping agar kaki Sang Pacceka Buddha tidak kotor. Dalam hati ia berkata, “Seperti
selimutku yang menjadi lebih indah saat engkau menginjaknya, demikian pula
semoga warna tangan dan kakiku menjadi merah dan indah bagaikan warna bunga
sepatu! Semoga sentuhan badanku bagaikan kain wol-katun yang digiling seratus
kali!”
Pada
masa kehidupan Buddha Gotama, si pemuda terlahir di kota Kalacampa. Timbul keajaiban
saat bayi ini dilahirkan, ribuan hadiah mendatangi rumah keluarganya dan juga
kota Kalacampa. Warna kulit si bayi pun bermandikan cairan emas merah sehingga
ia pun diberikan nama Sona. Karena ia berasal dari suku Kolivisa, ia dikenal
dengan nama Sona Kolivisa.
Kehidupan
pemuda Sona hampir sama dengan kehidupan Pangeran Siddhata sewaktu muda. Ia bergelimpangan
kebahagiaan dan kemewahan. Enam puluh pengasuh ditunjuk untuk mengasuh anak itu
bagaikan menjaga seorang dewa. Menyajikan nasi untuk sang anak pun melalui cara
yang luar biasa. Kemanapun ia pergi, karpet yang indah dan mahal akan
dihamparkan. Telapak tangan dan kakinya seperti warna bunga sepatu merah. Sentuhannya
sehalus kain wol-katun yang digiling seratus kali. Telapak kakinya ditutupi
oleh rambut halus yang berwarna seperti benang teratai berbentuk spiral dan
yang seperti terdapat dalam giwang batu delima. Masih banyak kemewahan yang ia
dapatkan dari kedua orang tuanya, persis seperti yang dialami Pangeran
Siddhata.
Suatu
ketika, Raja Bimbisara memanggil pemuda Sona tersebut untuk menyambut Sang
Buddha bersama 80 orang lainnya. Setelah mendengarkan khotbah Buddha, pemuda Sona
merasakan keyakinan yang mendalam dalam dirinya dan ingin ditahbiskan menjadi
Bhikkhu. Namun, Sang Buddha menyarankannya untuk minta izin terlebih dahulu. Setelah
mendapatkan izin ia pun ditahbiskan menjadi seorang Bhikkhu.
Setelah
menjadi seorang Bhikkhu, karena ketampanannya dan juga keindahan warna
kulitnya, banyak sanak saudara yang hadir untuk menghormatinya dan melayaninya.
Sona berpikir, “Kalau seperti ini, banyak yang mengunjungiku, bagaimana aku
bisa melatih diri dalam Meditasi Ketenangan dan Pandangan Cerah?” Ia pun
memutuskan untuk pergi ke daerah perkuburan di Sitavana (Hutan Sita) demi
mendapatkan ketenangan dan agar mencapai ke-Arahatan. Bukannya mendapatkan
kemudahan, di tempat tersebut Thera Sona merasa kesulitan karena kehalusan
tubuhnya.
Ia pun
memutuskan untuk berupaya keras membuat dirinya lelah siang dan malam. Ia tidak
mengambil metode meditasi duduk maupun berbaring namun berdiri dan berjalan. Karena
hal tersebut, lama-lama kakinya pun menghasilkan bisul dan ketika pecah jalan
yang dilaluinya penuh dengan darah berwarna merah. Bahkan ketika tubuhnya sudah
tidak kuat, sang Thera berlatih keras berjalan dengan siku dan lututnya. Jalan setapak
itu pun menjadi lebih merah. Meskipun ia telah berusaha sedemikian kerasnya
melebihi kemampuannya, ia tidak merasakan adanya hal positif yang dihasilkan. Ia
pun berpikir untuk berhenti dan menyerah, kembali ke kehidupan awamnya yang
bergelimang kemewahan.
Sang
Buddha mengetahui hal tersebut, dan datang menemui Sang Thera supaya Thera Sona
bisa mencapai apa yang diharapkan, yaitu Jalan dan Buah. Dengan kekuatan
batin-Nya, Sang Buddha bisa melihat bahwa metode yang paling tepat untuk
membantu Sang Thera yaitu dengan memberikan pertanyaan mengenai keahliannya
yaitu bermain kecapi. Maka Sang Buddha menjelaskan dengan perumpamaan bermain
kecapi melalui beberapa pertanyaan untuk Thera Sona, sebagai berikut:
Buddha,
“Anak-Ku, Sona, benarkah sewaktu muda Engkau terampil dalam bermain kecapi?
Thera Sona, “Ya, Buddha yang Agung.”
Buddha, “Anak-Ku Sona, bagaimanakah menurutmu, jika dawai kecapimu terlalu kencang, apakah kecapimu akan menghasilkan bunyi yang merdu? Apakah bunyinya akan bertahan lama?”
Thera Sona, “Buddha yang Agung, itu tidak mungkin. Kecapi itu tidak akan menghasilkan bunyi yang merdu juga tidak akan bertahan lama.”
Buddha, “Anak-ku Sona, bagaimanakah menurutmu, jika dawai kecapimu terlalu kendor, apakah kecapimu menghasilkan bunyi yang merdu? Apakah bunyinya akan bertahan lama?”
Thera Sona, “Buddha yang Agung, itu tidak mungkin. Kecapi itu tidak akan menghasilkan bunyi yang merdu juga tidak akan bertahan lama.”
Buddha, “Anak-ku Sona, jika dawai kecapimu tidak terlalu kencang juga tidak terlalu kendor, apakah kecapimu akan menghasilkan bunyi yang merdu? Apakah bunyinya akan bertahan lama?”
Thera Sona, “Ya itu mungkin Buddha yang Agung, kecapi itu akan menghasilkan bunyi yang merdu dan akan bertahan lama.”
Dari
tanya jawab ini dan juga kisah sebelumnya tentang penyiksaan diri Pertapa
Gotama, terdapat suatu kesimpulan bahwa usaha yang terlalu keras juga tidak
selalu menghasilkan apa yang kita harapkan. Begitu pula sebaliknya, kalau kita
malas kita tidak bisa mendapatkan apa-apa pula. Sang Buddha berkata bahwa ,”Usaha
yang berlebihan akan mengakibatkan kegelisahan (uddhacca). Usaha yang terlalu
kendur akan mengakibatkan kelambanan (kosajja).”
Lalu
bagaimana cara kita bisa mendapatkan apa yang kita inginkan? Cara bijak apakah
yang bisa kita gunakan? Sang Buddha melengkapi dengan, “Karena itu, Anak-ku
Sona, usaha (Viriya) dan konsentrasi (samadhi) harus sama jumlahnya atau tetap
seimbang. Usahakan agar kemampuanmu seperti keyakinan (saddha) juga dalam
tingkat yang sama (Panca Bala harus seimbang). Saat semuanya seimbang itulah,
cobalah untuk mendapatkan ketenangan dan lain-lain.”
2
kisah yang saya tuliskan ini memiliki kemiripan dan luar biasa maknanya. Dari 2
kisah yang luar biasa ini, dapat diuraikan bahwa kita boleh memiliki cita-cita
yang tinggi. Tapi kita harus tahu kemampuan diri kita dan seberapa besar
semangat juang kita. Banyak yang gagal karena hal-hal yang mendukung itu tidak
seimbang. Bahkan seorang calon Buddha dan Thera pun hampir gagal mencapai
cita-cita-Nya. Terlalu ambisius juga bisa gagal, terlalu malas apalagi. Jangan sampai
karena tidak seimbang menimbulkan kesedihan, kekecewaan, putus semangat,
depresi bahkan hingga mengalami gangguan jiwa. Setiap orang memiliki porsinya
masing-masing. Jangan sampai karena lalai, kita tidak berhasil menggapai
cita-cita yang bisa diraih. Ibarat pepatah kuno “seperti si cebol merindukan
bulan”, hanya bisa dipikiri terus karena mustahil untuk dicapai. Dan juga, kita
harus sadar dan legowo, karena ada 2 kondisi dimana kadang kala usaha kita
harus ditingkatkan (karena belum mencukupi), atau sebaliknya usahanya harus
dikurangi (karena terlalu berlebihan, seperti kisah Thera Sona). Maka dari itu,
apapun yang kita lakukan yang terbaik adalah seimbang.
Dengan
memahami hal ini, semoga kita sewaktu sedang berusaha untuk mencapai impian
atau cita-cita, kita bisa tahu seberapa besar kemampuan yang kita miliki,
sehingga kita tidak menjadi tegang atau tertekan tetapi bisa nyaman dan tenang.
Ingatlah tentang seberapa besar kemampuan yang kita miliki dan mainkanlah
secara seimbang seperti perumpamaan kecapi tidak terlalu kencang, juga tidak
terlalu kendor. Semoga semua makhluk hidup berbahagia.
Komentar
Posting Komentar