Perumpamaan Rumah Semut
Perumpamaan Rumah Semut
(Vammika Sutta)
Oleh: Indra Kurniawan
Idealnya,
manusia lebih memilih untuk menerima sesuatu daripada melepaskan sesuatu,
apalagi kalau sesuatu itu memenuhi kriteria, indah, enak, halus, cantik, dll. Apapun
yang baik menurut indria kita, siapa yang tak mau memilikinya? Ketika bisa
berhasil menerima sesuatu akan muncul rasa senang atau bahagia. Namun,
sebaliknya kalau kehilangan sesuatu, banyak rasa tidak enak akan muncul
seperti, kecewa, kesal, marah, sedih, dll. Jika kita mengenal Dhamma dan
melalui pemahaman yang benar, apa yang kita lakukan sebenarnya adalah melepas. Mengapa
bisa begitu? Dalam hal ini, yang dimaksud melepas bukan meninggalkan orang-orang
yang kita cintai, teman dekat kita, harta kita, bukan begitu. Yang dimaksud
sebagai melepas adalah dimaksudkan melepaskan hal-hal yang tidak bermanfaat
yang ada dalam batin kita, seperti keserakahan, kebencian, kebodohan batin,
nafsu, dll. Sebelum anda mampu melepas kotoran-kotoran ini, maka anda pun harus
siap menemui penderitaan dalam hidup.
Salah
satu metode paling mujarab menurut ajaran Buddha, untuk mulai bisa melepas
kotoran-kotoran tersebut, adalah dengan berlatih meditasi. Pada kesempatan ini,
saya akan berbagi suatu cerita tentang perumpamaan rumah semut yang tertulis
dalam Vammika Sutta. Sutta ini ditujukan untuk Samanera Kumara Kassapa sebagai
bahan latihan meditasi Beliau. Ceritanya lebih kurang sebagai berikut.
Samanera
Kumara Kassapa ditahbiskan pada usia tujuh tahun. Ia diberi nama Kumara Kassapa
(Anak Kassapa) oleh Sang Buddha untuk membedakan dengan Samanera lainnya yang
juga bernama Kassapa. Kumara Kassapa bisa juga diartikan sebagai Pangeran
Kassapa karena ia dibesarkan oleh Raja Pasenadi Kosala. Walaupun berusia muda,
Samanera ini mulai berlatih meditasi Pandangan Cerah dan juga memelajari
sabda-sabda Sang Buddha. Suatu ketika, Mahabrahma dari Alam Suddhavasa (dulunya
temannya dalam pelatihan meditasi di puncak gunung saat masa akhir Buddha
Kassapa) mengamati Samanera itu dan memutuskan untuk membantunya. Maka brahma itu
dengan kemegahannya, turun dari alam brahma untuk memberikan 15 teka teki
kepada Samanera Kumara Kassapa dengan tujuan membantunya. Perhatikanlah dengan
seksama ke 15 teka teki dan bagaimana Sang Buddha memberikan penjelasan kepada
Samanera Kumara Kassapa nantinya.
Brahma
itu kemudian menceritakan tujuannya dengan mengucapkan kata-kata berikut:
“Bhikkhu,
(1) Gundukan rumah semut ini (2) berasap pada malam hari; (3) terbakar pada
siang hari.”
“(4)
Guru brahmana itu berkata (5) kepada muridnya yang bijaksana: (6) ‘Peganglah
pedang itu dan (7) Gali dengan tekun.’ Si murid bijaksana melakukan sesuai
perintah gurunya dan (8) menemukan sebuah gerendel pintu. Dan ia melaporkan
kepada gurunya, Guru, ada gerendel pintu.”
“Guru
brahmana kemudian berkata kepada muridnya, ‘Murid bijaksana, singkirkan
gerendel pintu itu. Pegang pedangmu dan teruslah menggali.’ Murid bijaksana itu
melakukan perintah gurunya dan (9) menemukan seekor kodok. Ia melaporkan kepada
gurunya, ‘Guru, ada kodok yang menggembung (uddhumayika).”
“Guru
brahmana kemudian berkata kepada muridnya, ‘Murid bijaksana, singkirkan kodok
menggembung itu. Pegang pedangmu dan teruslah menggali.’ Murid bijaksana itu melakukan
perintah gurunya dan (10) menemukan persimpangan jalan. Ia melaporkan kepada gurunya,
‘Guru, ada persimpangan.”
“Guru
brahmana kemudian berkata kepada muridnya, ‘Murid bijaksana, tinggalkan
persimpangan itu. Pegang pedangmu dan teruslah menggali.’ Murid bijaksana itu melakukan
perintah gurunya dan (11) menemukan saringan air untuk menyaring pasir. Ia melaporkan
kepada gurunya, ‘Guru, ada saringan air untuk menyaring pasir.”
“Guru
brahmana kemudian berkata kepada muridnya, ‘Murid bijaksana, singkirkan
saringan air itu. Pegang pedangmu dan teruslah menggali.’ Murid bijaksana itu
melakukan perintah gurunya dan (12) menemukan seekor kura-kura. Ia melaporkan
kepada gurunya, ‘Guru, ada seekor kura-kura.”
“Guru
brahmana kemudian berkata kepada muridnya, ‘Murid bijaksana, singkirkan
kura-kura itu. Pegang pedangmu dan teruslah menggali.’ Murid bijaksana itu melakukan
perintah gurunya dan (13) menemukan sebilah pisau dan papan pemotong. Ia melaporkan
kepada gurunya, ‘Guru, ada pisau dan papan pemotong.”
“Guru
brahmana kemudian berkata kepada muridnya, ‘Murid bijaksana, singkirkan pisau
dan papan pemotong itu. Pegang pedangmu dan teruslah menggali.’ Murid bijaksana
itu melakukan perintah gurunya dan (14) menemukan segumpal daging. Ia melaporkan
kepada gurunya, ‘Guru, ada segumpal daging.”
“Guru
brahmana kemudian berkata kepada muridnya, ‘Murid bijaksana, singkirkan
segumpal daging itu. Pegang pedangmu dan teruslah menggali.’ Murid bijaksana
itu melakukan perintah gurunya dan (15) menemukan seekor naga. Ia melaporkan
kepada gurunya, ‘Guru, ada seekor naga.” Guru brahmana itu kemudian berkata
kepada murid bijaksana itu. ‘Biarkan naga itu. Jangan mengusiknya. Hormati dia.”
Setelah
menyebutkan ke 15 teka-teki itu, brahma itu meminta Samanera Kumara Kassapa
untuk menemui Sang Buddha untuk mendapatkan jawaban dari 15 teka-teki itu. Sebabnya
adalah, tidak ada makhluk apapun selain Sang Buddha yang mampu menjawab semua
hal itu. Lalu, brahmana pun meninggalkan Samanera. Keesokan paginya, Kumara Kassapa
menghadap Buddha di Vihara Jetavana, bersujud kepada Buddha, dan menceritakan pertemuannya dengan
brahmana malam sebelumnya, dan ia pun menanyakan 15 pertanyaan berkaitan dengan
perumpamaan teka-teki tersebut. Penjelasannya lebih kurang seperti di bawah
ini,
1.
Yang
Mulia, apakah yang dimaksud dengan ‘gundukan rumah semut’? Gundukan rumah semut
tak lain tak bukan adalah tubuh ini. Dari gundukan tanah yang dibuat oleh
semut, bisa keluar beberapa binatang seperti ular, tikus, kadal, dan semut. Demikian
pula tubuh kita ini mengeluarkan segala jenis kotoran melalui sembilan lubang.
2.
Apakah
yang dimaksud dengan ‘berasap pada malam hari’? Seseorang yang pada malam hari
merenungkan apa yang telah dilakukan pada siang hari; inilah yang dimaksud
dengan ‘berasap pada malam hari’.
3.
Apakah
yang dimaksud dengan ‘terbakar pada siang hari’? Seseorang yang melakukan
secara fisik, ucapan, dan pikiran apa yang telah dipikirkan sepanjang malam;
inilah yang dimaksud dengan ‘terbakar pada siang hari’.
4.
Apakah
yang dimaksud dengan ‘Guru Brahmana’? Guru Brahmana tak lain adalah Tathagata
(Buddha).
5.
Apakah
yang dimaksud dengan ‘murid bijaksana’? ‘Murid bijaksana’ adalah seorang
bhikkhu yang masih berlatih untuk mencapai Kearahattaan sesuai Tiga Latihan.
6.
Apakah
yang dimaksud dengan ‘pedang’? ‘Pedang’ adalah sebutan untuk pengetahuan, baik
Lokiya maupun Lokuttara.
7.
Apakah
yang dimaksud dengan ‘menggali dengan tekun’? ‘Menggali dengan tekun’ artinya
adalah usaha terus-menerus.
8.
Apakah
yang dimaksud dengan ‘gerendel pintu’? ‘Gerendel pintu’ adalah sebutan untuk
kebodohan. ‘Gerendel pintu’ di gerbang kota menutup jalan bagi para penduduk,
demikian pula, kebodohan menutup munculnya Pengetahuan menuju Nibbana. Maka dari
itu, yang dimaksud dengan ‘Murid bijaksana, peganglah pedang itu dan galilah
terus’ adalah ‘berusahalah dengan tekun dengan pengetahuan untuk menyingkirkan
kebodohan’.
9.
Apakah
yang dimaksud dengan ‘kodok yang menggembung’? ‘Kodok menggembung’ adalah
sebutan untuk kemarahan. Menggembung adalah gambaran kemarahan yang
menggembungkan dirinya saat diserang. Ia dapat meledak kapan saja dan
menimbulkan reaksi yang berkepanjangan jika tidak disingkirkan. Seekor kodok yang
tidak bisa mengontrol ‘kemarahannya’ bisa jatuh terjengkang, tidak mampu
bergerak, dan jatuh menjadi mangsa hewan lainnya. Maka dari itu, murid yang
bijaksana hendaknya tekun dan waspada sehingga mampu menyingkirkan kemarahan
yang tiada manfaatnya dengan pengendalian diri. Jika dibiarkan, kemarahan bisa
saja memakan korban. Seseorang yang tidak mampu menahan amarahnya, tidak akan
mampu berkonsentrasi dalam meditasi dan pengetahuannya menjadi terhalang. Tanpa
pengetahuan, ia akan menjadi korban dari segala jenis Mara (kejahatan) dan
menjadi budak dari nalurinya.
10. Apakah yang dimaksud dengan ‘persimpangan
jalan’? ‘Persimpangan jalan’ adalah sebutan untuk keraguan (vicikiccha). Keraguan
juga bisa merugikan seseorang yang tidak waspada. Ketika seorang pengembara
yang membawa barang berharga tiba di persimpangan jalan dan menghabiskan banyak
waktu di sana, tanpa mampu memilih jalan mana yang harus diambil, ia mengundang
banyak perampok yang akan menghancurkannya. Begitu pula, bagi siapapun yang
telah mendapatkan metode dasar dalam meditasi dan telah memulai latihan, namun
masih meragukan kebenaran akan Tri Ratna, ia tidak akan mampu bermeditasi. Ia akan
dikalahkan oleh kotoran dan Mara dan kekuatan jahat lainnya.
11. Apakah yang dimaksud dengan ‘saringan
air untuk menyaring pasir’? ‘Saringan air’ untuk menyaring pasir adalah sebutan
untuk panca-nivarana / lima rintangan yang menghalangi jalan menuju Jhana dan
pengetahuan Jalan yaitu: (1) nafsu indria (kamacchanda), (2) niat buruk
(vyapada), (3) kemalasan dan kelembaman (thina-middha), (4) kegelisahan dan
penyesalan (uddhacca-kukkucca), (5) keraguan (vicikiccha). Ketika seseorang
menuangkan air ke dalam saringan air untuk menyaring pasir, air akan mengalir
ke dalam saringan dengan bebas. Jangankan secangkir air, seratus kendi pun air
itu akan tetap mengalir dengan bebas. Ini yang terjadi pada batin seorang
meditator yang memiliki lima rintangan, tidak ada jasa kebajikkan tertinggal.
12. Apakah yang dimaksud dengan ‘kura-kura’?
‘Kura-kura’ adalah sebutan untuk lima objek kemelekatan (upadana), yaitu: (1)
kelompok jasmani (rupakkhandha) yang pasti mengalami perubahan, (2) kelompok
perasaan (vedanakkhandha) yang mampu merasakan, (3) kelompok pencerapan (sannakkhanda)
yang memiliki sifat mengenali, (4) kelompok aktivitas kehendak
(sankharakkhanda) yang membantu dalam membentuk semua perbuatan, (5) kelompok
kesadaran (vinnanakkhandha) yang memiliki sifat mengetahui. Bagaikan seekor
kura-kura yang memiliki lima tonjolan – kepala dan empat kakinya – demikian pula
semua fenomena berkondisi di bawah mata pengetahuan terbagi dalam lima kelompok
yang merupakan objek keserakahan.
13. Apakah yang dimaksud dengan ‘pisau’
dan ‘papan pemotong’? ‘Pisau’ dan ‘papan pemotong’ adalah sebutan untuk lima kenikmatan indria yang muncul dengan indah, menyenangkan dan menarik dan yang
menyebabkan munculnya kemelekatan indria terhadapnya, yaitu: (1) objek terlihat
(ruparammana) yang dikenali oleh kesadaran-mata (cakkhu-vinnana), (2) suara
(sadda-rammana) yang dikenali oleh kesadaran-telinga (sota-vinnana), (3)
bau-bauan (gandha-rammana) yang dikenali oleh kesadaran-hidung (ghana-vinnana),
4 rasa (rasa-rammana) yang dikenali oleh kesadaran-lidah (jivha-vinnana), (5)
objek-objek kasar (photthabba-rammana) yang dikenali oleh kesadaran-batin
(kaya-vinnana). Kenikmatan indria, kotoran, mencari objek-objek indria. Kotoran
diumpamakan sebagai pisau, objek-objek indria diumpamakan sebagai papan pemotong.
14. Apakah yang dimaksud dengan ‘segumpal
daging’? ‘Segumpal daging’ adalah sebutan untuk kemelekatan atau keserakahan
(nandiragatanha). Segumpal daging dicari oleh setiap orang, tinggi atau rendah,
raja atau rakyat jelata, mereka menyukainya, demikian pula burung-burung dan
binatang buas. Mencari segumpal daging bukanlah hal yang mudah. Semua kesulitan
berasal dari hal ini. Demikian pula, kemelekatan indria atau keserakahan adalah
sumber semua penderitaan. Tetapi sayangnya kebenaran ini seringkali terselubung
oleh kebodohan. ‘Kenikmatan’ inilah yang mengikat semua makhluk berputar-putar
dalam lingkaran kelahiran kembali yang berputar tanpa welas asih, tanpa sadar
akan sifat bahayanya. Nikmat memang nikmat, tapi semakin dinikmati semakin
membuat anda menderita.
15. Apakah yang dimaksud dengan ‘naga’?
Mengapa yang ‘naga’ ini dibiarkan saja? ‘Naga’ adalah sebutan untuk Arahanta. Siapapun
dianjurkan untuk tidak membiarkan Arahanta itu tanpa mengusiknya. Selain itu,
siapapun dianjurkan untuk menghormati Arahanta tersebut. Disebut ‘naga’ karena
seorang Arahanta tidak disesatkan oleh empat faktor yang menyesatkan, yaitu
kegemaran atau kesukaan, kebencian, ketakutan, dan kebodohan (Chandadihi na
gacchantiti naga). Penjelasan lain, seorang Arahanta tidak pernah kembali
kepada kotoran yang telah disingkirkan dalam (empat) tingkat penyucian (Tena
tena maggena pahine kilese na agacchanti ti naga). Pengertian lainnya, Arahanta
tidak mampu melakukan kejahatan apa pun (Nanappakarakam agum na karonti naga).
Menjadi
seorang Arahanta bukanlah hal yang mudah, banyak proses yang dilalui, banyak
pula ‘perubahan dan pengorbanan’ yang harus diterima. Maka bertemu dengan
seorang Arahanta adalah momen yang luar biasa dan kita harus menghormati
Arahanta yang telah terbebas dari ‘racun-moral’ dengan tepat. Banyak hal yang
harus dipahami oleh seseorang yang masih berlatih untuk mencapai jalan yang
dituju. Banyak pula hal yang memang harus disingkirkan agar tidak menjadi penghalang
menuju jalan yang dituju. Jika tidak waspada, walau hal kecil pun, bisa
mengondisikan seseorang terus berputar di 31 alam kehidupan tanpa henti.
Perumpamaan Rumah Semut atau Vammika Sutta ini memang ditujukan untuk Samanera
Kumara Kassapa, namun apa yang diajarkan merupakan kebenaran yang bisa kita
pelajari dan terapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Berusahalah dengan
tekun berbekal pengetahuan untuk terus menggali dan menyingkirkan ‘kotoran-kotoran
yang tidak bermanfaat’. Angkat pedangmu, gali, singkirkan dan juga tinggalkan
gerendel pintu, kodok yang menggembung, persimpangan jalan, saringan air untuk
menyaring pasir, kura-kura, pisau dan papan pemotong, dan juga segumpal daging.
Semua hal ini, jika terlalu dirawat dan dinikmati akan merugikan diri kita
maupun orang lain. Apa yang buruk dan tidak bermanfaat, singkirkan. Apa yang
kelihatan indah dan nikmat, waspadalah, itu hanya sesaat dan tidak untuk
dilekati.
Bahagia atau
menderitanya kita bukanlah ditentukan oleh orang lain, melainkan diri kita
sendiri. Maka dari itu, kapanpun dan dimanapun, marilah kita melatih diri kita
agar selalu waspada terhadap apa yang di dalam diri kita maupun dengan fenomena
di sekitar kita. Berjuanglah dan dengan tekun teruslah menggali, siapa tahu
suatu saat kita juga menjadi ‘naga’ yang luar biasa. Perumpamaan Rumah Semut
ini akan menjadi luar biasa dan besar manfaatnya, jika kita mampu
mempraktikkannya seperti Samanera Kumara Kassapa. Semoga dengan sedikit
penjelasan ini dapat mengondisikan kita semakin tekun, sadar, dan waspada
dalam menjalani kehidupan ini. Semoga semua
makhluk hidup berbahagia.
Komentar
Posting Komentar