Kematian? Buat apa Ditakuti!
Mengatasi
Rasa Takut terhadap Kematian
Diulas oleh:
Upc. Indra Kurniawan
Salam
sejahtera, sotthi hontu saudara-saudari dalam Dhamma. Pada kesempatan
berbahagia kali ini, kembali saya akan mengulas uraian Dhamma yang telah
disampaikan oleh YM. Uttamo Mahathera. Saya sangat menyukai uraian yang
disampaikan Bhante Uttamo karena tidak terlalu panjang tapi mengena walau juga
tidak banyak menggunakan istilah Pali. Tema yang akan kita bahas pada
kesempatan kali ini sering kali tidak membuat orang yang mengetahuinya menjadi
bahagia, bahkan malah dianggap seram sehingga ditakuti. Bahkan banyak yang
mengeluh, “Buat apa sih membicarakan tema ini!” Jadinya, walau belum mulai
dibahas sudah banyak yang takut duluan, kok yang dibicarakan soal kematian.
Sesungguhnya
walaupun kematian sering kali ditakuti, kita harus menghadapi kenyataan karena
kita hidup saat ini. Ada juga yang bilang “sudahlah tidak perlu membahas soal
kematian", lah tidak dibahas pun kita suatu saat juga pasti bertemu. Mau diomongkan
atau tidak, kita pasti tetap bertemu kematian karena kematian adalah sisi dari
kehidupan. Ujung dari kehidupan adalah kematian. Bagi yang belum mencapai
kesucian, setelah mencapai kematian akan menuju ke awal kelahiran kembali. Setelah
itu juga akan menemui kematian lagi. Begitu terus. Maka dari itu, tema kali ini
sebenarnya malah sangat menarik yaitu mengenai bagaimana menghilangkan rasa
takut akan kematian.
Menghadapi
kematian itu sesuatu yang pasti terjadi, tidak perlu dan tidak mungkin
dihindari. Di dalam Dhamma, disampaikan bahwa sebenarnya hidup ini tidak pasti.
Kita yang hidup, berkumpul saat ini, benar dikatakan hidup. Yang menjadi
pertanyaan, sampai kapan kita hidup? Tidak ada yang tahu. Hidup tidak pasti,
yang pasti adalah kematian. Kematian pasti akan datang ntah sekarang, mungkin 2
menit lagi, seminggu lagi, setahun lagi, pokoknya pasti datang. Kehidupan justru
yang tidak pasti. Hal ini sudah disampaikan di dalam Dhamma, jadi kenapa kita
takut pada kematian?
Kalau
kita sadar akan jalannya hidup ini dan melihat ke dalam diri kita sendiri, kita
tahu nantinya kita bakal mati. Saya yakin, siapapun tidak ada yang tidak tahu
dirinya akan mati. Tapi kalau ditanya nih, siapkah kita sekarang mati? Maukah mati
sekarang? Itu yang jawabannya nanti bisa aneh-aneh. “Aduuu, janganlah, nanti
kalau saya mati sekarang bagaimana anak saya, keluarga saya, dll.” “Aduuu kalau
saya mati gimana pangkat dan kedudukan saya.” “Gimana duuu vihara ini kalau
saya mati, siapa yang bisa membina?” Inilah tanda-tanda kalau kita tidak siap
mati.
Namun,
ada juga yang menyatakan “Saya siap mati! Saya tahu kematian itu milik semua
orang.” Ok, kalau kita siap mati dan tahu kematian akan datang, semisal nih
tiba-tiba semua lampu di rumah kita mati mendadak, mati total, kira-kira kita
takut tidak? Kaget tidak? Teriak tidak? Kalau hal-hal ini masih ada, sebenarnya
rasa takut anda masih ada. Ketika lampunya tiba-tiba menyala lagi semua, kita
langsung bersorak-sorak, bertepuk tangan. Kalau sudah seperti ini, jelas
sebenarnya ada rasa takut mati. Tapi masih ada yang bilang, “Oh tidak Bhante,
kalau saya mati lampu pun tenang, cuek aja.”
Ok,
sekarang kita lihat contoh yang lain. Saat kita naik kendaraan, apapun itu,
tiba-tiba kendaraan direm mendadak karena di depan ada kendaraan lain atau
seseorang yang menyeberang jalan. Kalau kita berteriak “ehh awas awas..”
sebenarnya kita masih takut mati. Kita belum siap mati. Jadi kalau masih
ngomong tidak takut mati, itu hanya sebatas teori saja, belum sampai pada
praktiknya. Oleh karena itu, pada dasarnya tiap orang yang belum mencapai
kesucian itu takut mati. Kenapa bisa begitu? Karena kemelekatannya pada
kehidupan, pada kesenangan terhadap kehidupan. Ia juga melekat pada penderitaan
dunia ini. Misalnya, “Kenapa saya harus mati sekarang ini, saya tidak
bisa...anak saya masih kecil, tidak ada yang merawat, kalau saya mati kan
kasihan dia.” Ini yang boleh dikatakan sebagai kemelekatan pada penderitaan itu
sendiri ‘menderita untuk menghidupi anaknya.’ Di sisi lain ada juga yang
berpendapat begini, “Ah sudahlah, ndak mau tahu, anak sudah saya lahirkan, mau
dia hidup atau mati terserah dah, ndak ambil pusing, biarlah saya yang mati
duluan.” Yang berpikiran begini juga ada.
Pada
prinsipnya, orang rata-rata takut mati. Maka, mari sekarang kita bahas tema
kita supaya kita jadi tidak takut. Apa penyebab kita takut? Yang pertama, kita
takut pada kematian karena kemelekatan kita. Kita melekat dengan apa
yang kita cintai, dengan apa yang kita sayangi. Ini penyebab pertama.
Penyebab
kedua, banyak dari kita ketika ditawarkan mati sekarang ini memilih tidak mau,
kenapa begitu? Banyak yang berkata, ”Aku belum berbuat baik. Aku kurang berbuat
baik.” Saudara-saudari dalam Dhamma, kematian itu ibaratnya sebuah perjalanan. Sebagai
contoh, kita harus berangkat dari kota A menuju ke kota lain. Mungkin juga,
kita harus pergi dari negara A ke negara lain. Ketika ada yang bertanya sudah
siapkah berangkat ke kota atau negara lain? Kita menjawab belum siap. Alasannya "Aku belum punya uang. Passportku belum siap, dll.” Kematian juga sama, kita
belum siap karena belum banyak berbuat baik dengan pikiran, ucapan, dan
perbuatan. Sederhananya, alasan kedua adalah ‘aku belum siap karena modalku
belum cukup.’
Sebenarnya
kalau mau dicari banyak sekali penyebab orang takut dengan kematian. Dikarenakan
kesempatan yang singkat, kita hanya akan membahas 2 penyebab yang sudah kita
bahas secara singkat tadi. Kemelekatan ini sering kali digambarkan saat kita
tidak mau melepas orang yang kita sayang, benda-benda yang kita sayang, bahkan
situasi-situasi yang kita cintai. Kenapa tidak mau mati sekarang? “Aduuu...anakku,
hartaku, pangkatku, dll.” Di dalam Dhamma, bagaimanakah caranya mengatasi
ketakutan akan kematian akibat kemelekatan ini?
Di
dalam Dhamma, kita diajarkan latihan kerelaan, sebagai contoh setelah puja
bakti kita melakukan dana paramita. Bahkan latihan ini telah dimulai sejak
kecil. Apa yang dimaksud dengan latian berdana ini? Sebenarnya latihan ini
merupakan latihan melepas apa yang kita cintai. Belajar melepas apa yang kita
sayangi. Kalau kita melihat anak kecil sekalipun, terutama pada zaman sekarang
ini, paling senang kalau dikasih uang misalnya saat Imlek. Ketika mereka bisa
dapat angpao, pasti senang sekali. Uang bagi hampir setiap orang menjadi sangat
berharga, sampai-sampai ada yang lebih mengutamakan uang daripada saudara
maupun temannya. Bahkan tidak segan menyingkirkan saudara maupun temannya, demi
mendapatkan uang.
Sebenarnya,
apa yang diajarkan dari kecil dalam hal melakukan dana paramita adalah berbagi.
Mau uangnya digunakan untuk apa, ada kantong dana lewat kita diajarkan untuk
memasukkan uang. Kalau tidak ada kantong, kita cari kotak dana di vihara. Di vihara
manapun, kalau bisa tetap melakukan seperti itu, pokok intinya harus berbuat baik.
Sebetulnya, kita hendaknya belajar melepaskan apa yang kita sayangi, nomor 1
adalah uang. Jadikan kebiasaan untuk melakukan dana paramita setiap selesai
puja bakti. Kalau suatu ketika ada barang kitayang hilang, walaupun mungkin
barang yang tidak terlalu berharga ntah sandal, baju, dll. Kalau sudah terbiasa
berdana, kita jadi bisa berpikir seperti ini, ‘Sandal itu harganya Rp. X, saya
biasanya berdana kalau hari Minggu. Sekarang sandal itu hilang, berarti sama
dengan saya berdana paramita sekian bulan. Yah, sudahlah tidak apa-apa, anggap
saja saya lagi berdana paramita.” Ini sebenarnya adalah dana yang sempurna
karena sama dengan saat kita berdana paramita, ntah uangnya mau digunakan untuk
apa, kita tidak peduli pokok kita berbuat baik. Saat sandal yang hilang, toh
kita juga tidak mengenal penerima dana, begitu juga sebaliknya, inilah yang
akhirnya disebut dana sempurna. Sama-sama tidak saling mengenal, dah anggap
saja itu berdana. Ini merupakan pola pikir yang bagus dimana kita membiasakan
diri kehilangan sesuatu yang sebenarnya kita senangi. Kalau terus dilakukan,
ini bisa jadi suatu kebiasaan ntah saat kita harus kehilangan sesuatu yang
lebih berharga, kita bisa lebih rela melepas. Suatu saat pun ada saatnya kita
harus kehilangan semua yang kita miliki yaitu pada saat kematian.
Kematian
itu proses dimana kita meninggalkan beberapa hal. Proses kematian terjadi pada
tahap pertama dimana kita meninggalkan badan kita. Kita sudah tidak mengenali
badan kita. Di Indonesia, sering kali ketika orang meninggal, jenazahnya
biasanya akan dibiarkan dulu beberapa saat, lalu dimandikan dan dibersihkan. Badannya
diapa-apakan saja diam saja, sudah tidak tahu dan merasakan apa-apa karena
badan itu sudah ditinggalkan. Setelah itu biasanya, jenasahnya dititipkan di
rumah duka. Artinya apa? Rumah yang dahulunya kita tempati, kita cintai, mau
tidak mau juga ditinggalkan. Ketika kita meninggal, kita harus berpisah dan
menjadi penghuni rumah duka.
Di
rumah duka, kalau sebelum pandemi, biasanya keluarga ramai-ramai datang, menangisi
yang sudah meninggal. Dilanjutkan hadirnya teman atau sanak kerabat, semua
datang berkumpul. Umat vihara mungkin juga datang baca Paritta untuk malam
pertama hingga seterusnya. Dan tibalah, hari terakhir dimana jenasah
diberangkatkan ke krematorium atau kuburan. Ketika akan diberangkatkan, sanak
kerabat maupun teman ataupun keluarga mulai mencari alasan. “Waa maaf saya
besok tidak bisa ikut mengantar, karena ada rapat.” Yang lain juga demikian. Saat
kita dibawa ke rumah duka, kita sudah meninggalkan badan, rumah, harta, milik
kita yang kita cintai, ntah apapun itu, maka pada saat akan berangkat ke
krematorium atau kuburan kita juga mulai ditinggalkan teman-teman kita. Teman yang
dari kecil kita cari, sering berkumpul bersama mulai meninggalkan kita. Perjalanan
ke tujuan selanjutnya hanya ditemani pasangan, anak, maupun keluarga terdekat. Sampailah ke krematorium ataupun kuburan, keluarga menangis keras sekali. Bahkan Bhante
pernah bingung saat baca Paritta dan mau ceramah, keluarga nangisnya lebih
keras dari suara Bhante. Begitu pintu kremasi atau lubang kuburan sudah
ditutup, keluarga hanya akan mengantar sampai disitu, tidak akan ikut.
Jadi,
saudara-saudari, rangkaian proses kematian tadi, yang pertama pasti kita
tinggalkan adalah harta kita, rumah, baju, sepatu, dll. Ketika mau berangkat ke
kuburan atau krematorium, teman-teman meninggalkan kita. Semuanya kita
tinggalkan. Pada saat jenasah dibakar atau dikubur, keluarga pada akhirnya juga
meninggalkan kita. Jadi tujuan berlatih berdana sejak kecil sampai dewasa
adalah untuk menuju ke pelepasan ini. Kita tidak bisa mengatakan bahwa, “Waahh
tidak bisa nih, aku masih sayang sama keluargaku, sayang sama hartaku, dll.” Ini
tidak bisa karena suatu saat semua pasti akan kita tinggalkan. Hanya dengan
latihan berdana, walau sedikit demi sedikit, tujuannya mempersiapkan diri kita
ke tahap pelepasan pada saat meninggal.
Tahap
yang kedua adalah alasan bahwa kurang berbuat baik, belum bisa berbuat baik
dengan pikiran, ucapan, dan perilaku. Mengapa bisa demikian? Melihat proses
kematian di atas tadi, kita banyak meninggalkan apapun yang kita cintai baik
dari harta, teman, hingga keluarga kita. Sebagai gantinya, perbuatan baik yang
kita lakukan semasa hidup melalui pikiran, ucapan, dan perbuatan akan
mengantarkan kita menuju ke alam bahagia. Sebaliknya, jika banyak hal buruk
akan mengantarkan kita terlahir di alam menderita. Maka dari itu, banyak yang
takut kalau perbuatan baiknya kurang, bagaimanakah hal ini? Saudara-saudari,
dari kecil kita dilatih untuk melakukan dana paramita. Dana yang berupa materi,
tapi perbuatan baik bukan hanya berupa materi. Ketika kita mampu berbicara
dengan baik, memberikan nasihat dengan baik, itu jelas merupakan perbuatan
baik. Menolong orang lain, menyeberangkan orang yang sudah tua, juga merupakan
perbuatan baik. Mengangkatkan barang untuk orang tua kita juga perbuatan baik. Banyak
sekali perbuatan baik yang bisa kita lakukan sepanjang hidup kita.
Oleh
karena itu, di dalam Dhamma, ada tujuan hidup yang dapat dicapai secara Dhamma,
yaitu:
1. Seseorang bisa mencari harta sebanyak
apapun dengan cara yang jujur, baik, tidak melanggar Sila. Menjadi kaya itu
boleh di dalam Dhamma. Jangan berpikiran negatif jadi orang beragama Buddha itu
tidak enak. Nantinya disuruh jadi Bhikkhu, rambut saja Bhikkhu tidak punya. Jubah
juga punya sepasang. Tidak begitu. Umat Buddha boleh kaya, pokok mau berusaha
dan berjuang semaksimal mungkin untuk mencapai penghasilan yang maksimal.
2. Seseorang juga boleh berkedudukan
yang baik dan tinggi. Berprofesi apa saja juga boleh asal melakukannya dengan
semaksimal mungkin. Terus berusaha melakukan yang terbaik untuk mencapai posisi
yang tertinggi di dalam lingkungan kita.
3. Umat Buddha juga boleh berusaha
mempunyai usia yang panjang. Praktiknya seperti ini, misalnya kalau sakit boleh
minum obat. Sebelum sakit kita juga boleh minum vitamin. Lakukan segala upaya
supaya umurnya bisa panjang. Umat Buddha boleh melakukan semua itu. Yang tidak
boleh adalah pasrah seperti ini, “Ah sudahlah, toh umur kan tergantung karma. Pokok
aku hidup ya asal-asalan saja, kalau karmaku baik ya aku kan bisa umur panjang.
Kalau karmaku tidak baik, mau aku sering periksa darah, minum vitamin dan obat,
bentar lagi juga matinya lebih cepat.” Ini bukanlah umat yang bijaksana karena
kalau bijaksana pasti berusaha semaksimal mungkin untuk menjaga kesehatan,
memperpanjang usia. Kenapa begitu?
4. Kalau kita boleh kaya, kalau boleh
punya pangkat tinggi, boleh berumur panjang itu karena kita harus memanfaatkan
kekayaan, pangkat dan kedudukan kita untuk waktu yang lama karena berusia
panjang untuk berbuat baik. Sehingga, semua yang kita miliki (kekayaan dan
pangkat) bisa digunakan untuk berbagi, berbuat baik. Usia yang panjang sebagai
waktu yang lama untuk berbuat baik. Kalau sudah seperti ini, saat kematian
datang, kita sudah selalu melakukan kebaikkan melalui pikiran, ucapan, maupun
perbuatan sehingga kita benar-benar siap meninggalkan apapun yang kita miliki
dan nantinya yang kita bawa hanyalah perbuatan baik.
Di dalam
masyarakat, sering ada kata-kata seperti ini, “Apapun yang kita cari, akan kita
tinggalkan.” Kalaupun kita dalam hidup ini mencari harta, kedudukan, pasangan
hidup, dll, itu semua akan kita tinggalkan pada saat kematian datang. Sebaliknya,
apa yang kita berikan yaitu kita berbagi dengan materi kita, dengan tenaga
kita, perbuatam, ucapan baik, pola pikir yang baik, semua kebajikan itulah yang
akan kita bawa di dalam kelahiran kembali sesudah kehidupan ini.
Dengan demikian,
sesungguhnya kalau kita melihat Agama Buddha dalam melihat hidup ini adalah
sebagai sesuatu yang tidak pasti, yang pasti adalah kematian. Karena itu kita
hidup hendaknya bukan hanya takut pada kematian, “Aduu udah banyak teman-teman
sekolah seumuranku yang meninggal, usiaku bentar lagi juga mau habis nih,,,
aduuu jadi takut.” Bukan seperti ini. Kita tahu hidup pasti menuju ke kematian.
Tapi tugas kita adalah untuk mempersiapkannya dengan melakukan banyak perbuatan
baik, dengan pelepasan baik itu materi dan sebagainya, supaya ketika kematian
datang pada saat ini pun kita sudah siap. Orang yang tidak siap karena dia
tidak berlatih pelepasan secara materi maupun melakukan kebajikan yang
merupakan pengembangan dari pelepasan. Intinya sebetulnya kalau mau berani menghadapi
kematian, kuncinya adalah pelepasan. Pelepasan materi adalah latihan awal,
kemudian juga ada yang bukan materi, misalnya kita sanggup melepaskan
teman-teman kita. Kita juga sanggup melepaskan waktu kita untuk berbuat baik
terhadap lingkungan, dsb. Maka, itulah yang membuat kita siap menghadapi
kematian dan ketika semakin banyak perbuatan baik kita lakukan seiring dengan
usia kita yang panjang, seiring dengan tingginya kedudukan yang bisa kita
capai, maka kematian bisa kita hadapi dengan tenang. Dan akhirnya, orang
seperti itu akan tersenyum ketika meninggal karena lebih banyak bagi dia
mengingat perbuatan baiknya daripada dia harus terpuruk karena perbuatan
buruknya.
Demikian ulasan
yang dapat saya tuliskan. Berusahalah dengan sungguh-sungguh dalam hidup yang
tidak pasti ini sehingga ketika kematian tiba kita bisa pergi dengan
meninggalkan senyuman dan membawa kebaikkan. Sabbe satta bhavantu sukhitatta.
Komentar
Posting Komentar