Mampukah Karma Mengubah Hongshui?
Karma – Nasib – Hongshui
Diulas oleh: Upc. Indra Kurniawan
Selamat siang, sotthi hontu,
saudara-saudara. Kali ini saya ingin mengulas topik yang sangat menarik berkaitan dengan karma.
Nantinya, kita akan melihat bagaimana pandangan umum tentang karma (kamma) itu
sendiri? Lalu, kita akan membahas apakah karma itu sama dengan nasib? Yang
terakhir, tidak kalah bagusnya, kita akan melihat pandangan Buddhis mengenai
karma dan Hongshui. Mari kita langsung saja mengulas topik ini yang telah
disampaikan oleh YM. Uttamo, MT.
Bagaimana
pandangan masyarakat umum tentang karma? Apakah sesuai dengan pemahaman dalam
pengertian Buddhis? Di dalam pengertian Buddhis dengan pengertian sehari-hari,
karma ini mempunyai pengertian yang berbeda. Ada sedikit perbedaan yang mencolok.
Kalau di dalam kehidupan sehari-hari, di dalam masyarakat, yang mungkin juga
timbul di TV, buku-buku, koran, karma itu artinya cenderung jelek. Jadi
misalnya ada orang jahat, hidupnya menderita, anggapan kebanyakan orang ‘oh,
sudah karmanya’. Tapi kalau orang baik yang hidupnya bahagia, jarang orang
menyebut sudah karmanya. Jarang juga muncul tanggapan ‘wah ini sudah
rezekinya’. Jadi orang menganggap karma ini jelek, jelek, dan jelek. Sehingga
kadang-kadang judul di kebanyakan talkshow kalau membahas karma dianggap konsep
yang jelek “Bagaimana Hongshui bisa mengubah karma seseorang yang dianggap
jelek?” Padahal sebenarnya, karma itu netral, karena karma itu artinya niat,
niat melakukan sesuatu. Niat berbuat baik jadilah karma baik. Niat ingin
berbuat jahat jadilah karma buruk. Jadinya kalau melihat judul tadi, bisa
diartikan kalau kita punya 1 kebajikan sehingga rumah kita sudah bagus, rezeki
kita sudah bagus, jalan hidup kita sudah bagus, mungkin pertanyaannya yang
tepat adalah “Mampukah Hongshui ini meningkatkan segala sesuatu yang kita
miliki yang sudah bagus itu?” Jadi tidak selalu soal memperbaiki, bisa juga
meningkatkan.
Nah,
ini tadi kesan yang berbeda yang timbul di dalam masyarakat. Yang harus
ditegaskan lagi yang pertama bahwa karma berarti niat, bisa berarti niat baik
atau niat buruk. Karena niat itu dilakukan dengan pikiran, niat itu juga
mungkin diucapkan maupun dilakukan dengan badan, yang akhirnya niat itu akan
kembali pada diri kita. Sesuai benih yang ditanam itulah buah yang akan kita petik.
Kalau kita punya niat yang baik di dalam pikiran kita, saat kita berbicara,
saat kita melakukan sesuatu, maka buah kebahagiaan, buah kebajikan ini akan
kembali pada diri kita. Sebaliknya, kalau kita punya niat yang buruk baik saat
berpikir, berucap, maupun melakukan sesuatu dengan badan, maka yang jelek pun
akan datang pada diri kita. Nah, kalau yang baik-baik datang pada diri kita,
hidup itu selalu bahagia.
Banyak
orang yang mungkin kita lihat di dalam masyarakat, kok hidupnya enak terus.
Kecil, sudah lahir di keluarga yang happy. Sudah happy, sehat lagi. Sudah
sehat, ganteng dan cantik lagi. Sudah ganteng dan cantik, pintar lagi. Sudah
pintar, ganteng dan cantik, dan segala macam, temannya banyak juga. Kerjaannya
sukses juga. Punya rumah bagus sekali. Panggil ahli Hongshui seperti Pak
Hariyadi juga dibilang rumahnya Hongshuinya bagus. Rumah tangganya bagus,
anak-anaknya bagus. Kadang-kadang kalau lihat yang seperti ini, kita jadi
berpikir ‘loo, kok orang ini happy terus ya!’ Apakah ini memang Tian Zai atau
rezeki langit? Apakah ini memang karunia langit? Apakah dia tidak melakukan
sesuatu?
Sebaliknya,
ada orang yang dari kecil menderita. Lahir di keluarga miskin, sudah miskin
mukanya jelek. Sudah jelek, bodoh lagi. Sekolah tidak lulus-lulus. Playgroup
saja tidak naik-naik, kebangetan pokoknya. SD 8 tahun. Kerja ya, sekolah saja
tidak bisa apalagi kerjaan. Sudah begitu, punya pasangan hidup ya sama
berantakan. Rumahnya ya kacau balau. Kalau Pak Hariyadi dipanggil kesana
mungkin juga bingung, apa yang perlu diperbaiki. Harus dibongkar, pindah
rumahnya, karena sudah kacau sekali. Kadang kita melihat kondisi seperti ini,
kok yang satu ini bisa bahagia, yang satu kok menderita. Nah kemudian, kadang
kala masyarakat menyikapi karma ini dengan 1 ungkapan, ‘Ya wis ini nasib! Sudah
ndak bisa digoyang-goyang, ya wis diterima saja, wong nasib. Kalau sudah
miskin, ya miskin terus. Tidak mampu ya tidak mampu terus. Sedangkan, yang
pandai ya biar pandai terus.’ Saudara-saudara, di dalam karma bukan demikian
adanya karena karma adalah niat bukan hanya nerima. Kalau hanya nerima, ya
sudah dijalani, jalani, jalani. "Kalau sakit ya sudah karmaku berbuah. Nanti
kalau ditunggu karmanya ya akan sembuh-sembuh sendiri." Tidak demikian, saudara.
Karena karma itu niat berarti itu ada usaha. Ada perbuatan yang dilakukan
dengan pikiran, ucapan, dan badan kita.
Oleh
karena itu, bagi mereka yang sudah sukses pun, mereka masih harus menambah
kebajikan dengan pikiran, ucapan, dan perbuatannya terus menerus sehingga
suksesnya bisa dipertahankan, kalau bisa malah ditingkatkan. Hongshui ini
menjadi salah satu usaha seseorang untuk meningkatkan kesuksesan itu. Rumah
sudah bagus, semuanya sudah dirasa nyaman, tinggal di situ juga sudah harmonis.
Kalau mungkin mau tanya lagi ke Pak Hariyadi silakan, mungkin masih ada yang
bisa diperbaiki, ditingkatkan lagi, sehingga akhirnya kesuksesan itu bisa
diperpanjang. Sebaliknya, karena karma itu perbuatan, ketika seseorang hidup di
dalam kondisi yang menderita, dia bukan hanya nerima dan menyerah, tapi dia
harus berjuang, mengisi pikiran, ucapan, dan perbuatannya dengan kebajikan,
kebajikan, dan kebajikan. Sehingga akhirnya mereka yang mungkin dari kecil
lahir di keluarga menderita, hidupnya setelah dewasa menderita, eh kok
tiba-tiba ada yang mengajak dia ikut seminar, ikut talk show tentang Hongshui
(Fengshui) pada kesempatan ini. Dan ketika ikut talk show, ia mendengar apa
yang disampaikan Pak Hariyadi dan kebetulan dia jadi pemenang salah satu
doorprize dan punya kesempatan untuk komunikasi dengan Pak Hariyadi sehingga
punya kesempatan memperbaiki rumah, punya kesempatan untuk maju, itu adalah
karmanya dia. Kalau dia punya kesempatan ini, tapi tidak datang kesini, tidak
ada niat untuk melakukan tindakan untuk hadir kesini, semua kesempatan itu
lenyap.
“Ya
memang karmaku menderita begini, sudah untuk apa ikut-ikut talk show, begitu
toh juga menderita.” Tapi, ketika dia mau berubah, “Saya mau memperbaiki diri,
saya mau datang dalam kesempatan ini. Saya mau mencoba, mencoba, dan mencoba.” Ada kemungkinan, dia akan berubah. Oleh karena itu, sekali lagi saudara, karma
itu adalah perbuatan. Nah sekarang, apakah karma ini ada hubungannya dengan
Hongshui? Apakah Agama Buddha mempercayai Hongshui? Apakah boleh?
Saudara-saudara,
di dalam perjalanan hidup Sang Buddha, memang tidak pernah disebutkan tentang
Hongshui, memang tidak pernah. Jadi, tidak pernah dikatakan, ‘Oh para bhikkhu,
kalau bangun vihara itu harus di atas gunung, dekat air, sungainya disini,
depannya begini.’ Tidak pernah ada. Tetapi kalau kita pergi ke India, lalu kita
melihat tempat-tempat yang lama dihuni oleh Sang Buddha, nanti akan tahu bahwa
sesungguhnya tempat-tempat tersebut bila dihitung dengan Hongshui, bagi yang
tahu, itu ternyata memenuhi unsur-unsurnya, mungkin bisa dikatakan Hongshuinya
bagus. Kenapa demikian? Karena di dalam Dhamma disampaikan apa yang diajarkan
oleh Sang Buddha itu hanya segenggam daun dibandingkan banyaknya daun di hutan.
Segenggam daun ini yang bisa mengantar seseorang mencapai Pencerahan, sedangkan
yang seluruh daun di hutan itu tidak diajarkan namun bukan berarti itu salah,
itu yang ada di dalam masyarakat yang bisa kita lakukan. Maka dari itu, bagi
anda yang suka dengan Hongshui, silakan, jalani.
Mau
tanya tentang hidup anda, minta dihitung, silakan, boleh saja. Tapi, bagi anda
yang tidak mempercayai Hongshui, juga tidak masalah. Karena di dalam Dhamma,
karma atau perilaku kita ini sebenarnya yang paling penting. Bahkan, perilaku
ini yang akan menentukan, kalau mungkin di dalam cerita di atas tadi tema
talkshow kita adalah ‘Apakah Hongshui bisa mengubah karma?’, sebaliknya mungkin
yang harus dijawab adalah ‘Apakah Karma bisa mengubah Hongshui?’ Jawabannya
adalah bisa.
Saudara-saudara,
di dalam apa yang disampaikan Bhante pada kesempatan ini sebenarnya terdapat 3
poin penting, yaitu:
- Karma
itu tidak sama dengan yang kita kenal di dalam masyarakat sebagai nasib.
Karma adalah tindakan aktif yang kita lakukan melalui pikiran, ucapan, dan
perbuatan sehingga kita bukan hanya terima nasib. Nasib baik kita terima,
nasib buruk kita terima, bukan! Nasib baik harus kita perbaiki, tingkatkan
dan pertahankan! Nasib buruk bisa kita perbaiki agar yang buruk ini
lenyap, dengan berbagai cara.
- Sebagai
seorang umat Buddha, di dalam Dhamma, Hongshui tidak dilarang, tidak
percaya juga silakan.
- Mampukah
karma, mampukah tindakan mengubah Hongshui? Ini yang akan menjadi penutup
ulasan kali ini. Bhante memberikan jawabannya melalui sebuah kisah yang
menarik. Begini kira-kira kisahnya:
“Dikisahkan dalam beberapa sumber
kuno, ada cerita tentang seorang ibu yang tidak terlalu mampu. Ibu yang tidak
terlalu mampu ini, karena pemahamannya tentang hukum sebab dan akibat dalam
perbuatan atau yang biasa kita sebut karma ini, tiap hari selalu menyediakan
makanan untuk mereka yang menderita. Di berbagai negara Buddhis, kadang kita
sering melihat para bhikkhu jalan, keliling untuk pindapata atau memberikan
kesempatan umat berdana makanan. Tiap hari sering sekali mereka dari
rumah-rumah menyediakan 1 panci besar nasi, lauk, diberikan
pada para bhikkkhu. Itu hal yang biasa sekali. Ibu ini karena tinggal di lingkungan Buddhis tapi tidak terlalu banyak
bhikkhu, dia sering memberikan makanan untuk pengemis. Dia membuat kue di
rumahnya yang dikenal dengan sebutan pao (mandarin bao). Beda sama bakpao
karena ini tidak ada babinya, jadi sebutannya pao saja. Ibu ini hanya membuat
itu tiap hari, lalu dibagikan. Siapa saja yang datang, kenal tidak kenal
pokoknya dikasih. Yang minta dikasih. Yang namanya pengemis, kalau dapat bagian
seperti itu ya senang sekali. Ada 1 pengemis khusus yang ketika dapat 1, dia
akan minta lagi.
Pengemis khusus: Boleh tidak saya
minta lagi?
Ibu baik: Ya boleh.
Pengemis khusus: Boleh tidak saya
bawa pulang?
Ibu baik: Boleh.
Pengemis khusus: Boleh tidak saya
ambil suka-suka saya?
Ibu baik: Boleh.
Lalu pengemis itu dengan senang
mengambil banyak lalu dimasukkan ke kantong kumelnya, lalu dibawa pergi. Akhirnya
pengemis-pengemis di sekitar situ yang tahu ngomel.
Pengemis lain: Bu, kamu ini kok
memberi pengemis itu terlalu banyak? Kita kan tidak kebagian nanti.
Ibu baik: Ya sudahlah, apa yang bisa
aku berikan, aku berikan.
Pengemis lain: Laa, kalau kita tidak
punya. Kalau kamu maunya begitu, kan besok bisa kasih lagi ke dia.
Ibu baik: Ya besok ya kalau saya
hidup, kalau saya sudah mati kapan saya punya kesempatan berbuat baik?
Pengemis lain: Loo, tapi dia kan
mintanya berlebihan!
Ibu baik: Dia minta lebih berarti
kebutuhannya lebih banyak. Kalau kamu kebutuhannya lebih sedikit, tidak perlu
minta berlebihan seperti dia. Jangan kamu berpikir, ‘Loo dia kok banyak, aku
juga harus banyak!’ Jangan, kalau memang kamu butuh, ambil. Kalau butuhnya juga
banyak, ya silakan ambil sebanyak dia. Kalau tidak banyak ya ambil secukupnya. Pokoknya
aku menyediakan sebesar ini, pao nya sebanyak ini.
Tiap hari ibu itu selalu begitu.
Pengemis khusus itu tiap hari selalu datang dan ibu tua ini tidak pernah
mengeluh. Apa yang pengemis ini ingin, dia kerjakan. Apa yang diminta, dia
berikan. 1 hari demi 1 hari, sampai 1 minggu, sampai sebulan, bahkan sampai
setahun. Tiap hari kalau pengemis ini pulang, selalu bawa pao yang banyak dalam
kantong kumelnya. Kemana dia pergi, ibu ini tidak pernah tanya. Dia juga tidak
pernah ngomong ‘Apa kamu jual lagi pao saya?’ Pokoknya, kasih, kasih, dan
kasih, karena dia menyadari ini kebajikan.
Saudara-saudara setahun lewat, dua
tahun lewat, sampailah tahun ketiga. Sampai di 3 tahun ini, pengemis ini
mengatakn sesuatu kepada ibu tadi.
Pengemis khusus: Ibu, kamu tiap hari
memberikan saya pao ini, dan saya boleh mengambil sesuka saya. Apa sebab kamu
demikian?
Ibu baik: Karena saya ketika ketemu
kamu, saya punya kesempatan berbuat baik padamu.
Pengemis khusus: Apakah kamu tidak
pernah mengeluh saya ambil banyak?
Ibu baik: Tidak, karena kamu ambil
banyak berarti kesempatan saya berbuat baik juga lebih banyak.
Pengemis khusus: Ibu, memang dalam
kehidupan sekarang ini kamu tidak lahir sebagai orang yang mampu, tapi kamu
berbuat baik, berbuat baik, dan berbuat baik. Ini adalah usaha kebajikan yang
luar biasa. Karena itu ibu, ayo ikut saya, ikut saya keluar dari desa ini
sebentar.
Kemudian ibu ini mengikuti pengemis
tersebut keluar desa. Lalu, sampai di ujung desa, pengemis itu kembali
berbicara.
Pengemis khusus: Ibu, coba kamu lihat
di bukit sebelah sana. Ada sebatang pohon. Apabila nanti kamu meninggal dunia,
karena aku tidak bisa membalas kebaikanmu sekarang, 3 tahun kamu sudah kasih
saya pao tiap hari, kalau kamu sudah mau meninggal nanti, kamu berpesanlah
minta dikubur di bawah pohon itu. Dan, kalau permintaanmu sudah bisa dipenuhi,
seluruh anak turunanmu akan menjadi orang kaya dan salah satu keturunanmu akan
menjadi Raja yang besar!
Ibu ini kaget, dan berkata: Loo,
pengemis, kamu kok ngomong muluk-muluk gitu, maksudnya bagaimana?
Lalu pengemis ini dalam seketika
berubah wujud ke asalnya, yang ternyata adalah Dewa Bumi. Dewa Bumi mengatakan:
“Aku adalah Dewa Bumi yang mau melihat sejauh mana kamu mengembangkan
kebajikan. Dan kamu sudah lulus dalam ujian ini!
Dengan
demikian saudara, dengan berakhirnya kisah yang disampaikan oleh Bhante ini,
menutup ulasan Dhamma kita kali ini. Bahwa perilaku kita sesungguhnya akan bisa
menentukan kemana nanti arah rumah yang akan dibuat, kemana jalan hidup kita
sampai anak keturunan kita akan berhasil. Perilaku kita bisa juga menjadi
pengubah Hongshui; yang seharusnya kita dapat yang jelek, karena perilaku kita
baik maka Hongshui kita menjadi baik juga. Dan ternyata, kuburan di bukit, di
bawah pohon itu, dipercaya banyak orang Hongshuinya sangat baik sehingga layak
dia mendapatkan keturunan orang-orang sukses.
Demikian
ulasan kali ini, karena karma adalah niat, marilah kita terus semangat
melakukan hal yang terbaik selama kita masih hidup. Karma bukan hanya nasib
yang harus kita terima begitu saja. Apa yang dikatakan orang sebagai hal jelek,
tidak harus diterima begitu saja, tapi bisa diubah, diperbaiki, sehingga
menjadi satu hal yang lebih baik. Semoga kita semua selalu diliputi kebahagiaan
berdasarkan kebajikan yang telah kita lakukan selama ini. Semoga semua makhluk
hidup berbahagia.
Komentar
Posting Komentar