Hidup Tidak Kekal, Terimalah Kenyataan Sebagaimana Adanya!

 

Realita Kehidupan Tidak Kekal

Diulas oleh: Upc. Indra Kurniawan

 

            Salam sejahtera, semoga kita semua selalu dapat menabur benih kebajikan, sehingga hidup kita penuh dengan kebahagiaan. Pada kesempatan kali ini, saya ingin mengulas kembali uraian Dhamma yang telah disampaikan oleh YM. Uttamo Mahathera. Saudara-saudara, Sang Buddha mengajarkan Dhamma 1 hari 6 kali dan dilakukan selama 45 tahun. Kalau 1 hari 6 kali, maka dalam 1 bulan 180 kali, 1 tahun sudah hampir 2000. 45 tahun hampir 90.000. Sangat banyak yang telah disampaikan Sang Buddha dalam 45 tahun mengajar. Tetapi, ada 1 benang merah, ada 1 inti yang disampaikan selama 45 tahun itu, hidup tidak kekal, terimalah kenyataan itu. Hidup ini tidak kekal saudara dan kita harus menerima kenyataan itu sebagaimana adanya. Kita tidak bisa menolak ketidak-kekalan.

            Kita semua ketika lahir itu tidak lain menandatangani kontrak untuk suatu saat menuju kematian. Kita hanya punya sepasang bentuk telapak tangan, ada yang hitam maupun yang tidak hitam. Ketika kita dilahirkan, maka kita otomatis harus sepakat berani mati. Saudara-saudara, ada beberapa orang yang menghadapi kematian dengan rasa takut. Siapa dari kita yang tidak takut mati? Semua orang takut mati, bahkan binatang saja takut mati. Coba saudara bayangkan, kalau anda punya kurungan tikus, atau mungkin anda pakai perangkap jepit tikus untuk menjebak tikus, apa saja lah. Kalau misalnya jebretan sebagai perangkapnya, pernah tidak anda coba tangan anda dulu? Rasanya bagaimana ya kalau terkena jebretan itu? Coba dulu, sakit atau tidak? Kalau yang dipakai kurungan ya sudah ok.

            Saudara-saudara, bagi yang pakai kurungan mungkin tikusnya nanti bisa di fang sheng dimana saja. Lebih benar seperti itu, masak mau diestrum lalu digoreng? Masalah fang sheng nya mau dilepas kemana, terserah karma anda. Di mana saja silakan. Coba anda amati kalau menangkap tikus pakai kurungan, tikus itu kalau anda dekati, dia pertama kelihatan gelisah, lama-lama takutnya hilang tinggal sisa rasa beraninya. Dia menunggu saja, kalau bisa bicara sih, dia mungkin bilang ‘Mau ngapain loo? Gua tunggu!’ Bhante biasanya sih berkata seperti ini, ‘Tenang, sama-sama tikus (shio tikus) jangan macam-macam!’ Bagi yang shio macan atau yang lain ya silakan menantang, ‘Ku makan loo kamu!’ Saudara, coba anda amati, dia diam di pojok mungkin kadang sambil bersuara ‘cit, cit, cit’, sambil kadang buka mulut begitu. Artinya apa? Tikus pun takut menghadapi kematian. Semut juga takut menghadapi kematian, ia akan menggigit dengan keras sebelum mati. Tawon juga begitu, sebelum mati dia akan menyengat, mungkin dengan pikiran “Ayo mati bareng, ku entup hidungmu!” Artinya, semua makhluk takut pada kematian! Manusia pun juga, tapi tidak ada pilihan lagi karena kita sudah dilahirkan.

            Berani lahir, harus berani mati. Tidak ada pilihan! Anda mau memperpanjang umur, silakan! Minum obat ini itu, ada beberapa macam, seperti zaman dulu ada obat plasenta kijang yang konon berkhasiat, diminum pada akhirnya juga mati. Kemudian, ada juga plasenta gajah, lebih besar, diminum untuk obat tetap saja orangnya mati pada akhirnya. Kemudian, ada orang yang pakai jimat-jimat biar tidak mati, ehh tetap mati. Saudara-saudara, tidak ada gunanya takut mati karena kematian pasti datang. Yang harus ditakuti adalah terlahirkan kembali karena kalau lahir mesti mati. Kalau takut mati ya jangan lahir lagi. Mudah kan? Karena kita lahir, terpaksa kita mati. Jangan takut! Toh semua orang yang kita kenal, terutama leluhur kita, sudah berani mati semua. Mungkin orang tua kita yang dulunya takut gelap-gelap, ternyata juga berani mati. Beberapa orang tua yang takut sama anaknya, ternyata berani menerima datangnya kematian. Kakek dan nenek kita berani. Leluhur kita berani dan tidak ada dari mereka yang telah mati itu kembali. Dia lanjut jalan, berani. Setiap hari, kalau anda buka koran, para pejuang yang berani mati ada di sana. Si A umur segini, si B  umur segini, si C umur segini. Berarti, kematian sebenarnya tidak menakutkan. Sekarang anda masih takut pada kematian? Takut? Tidak? Ok, silakan daftar di koran, kapan mau berangkat? Loo, katanya kan tidak takut. Saudara-saudara, sebenarnya kematian adalah pelepasan yang tertinggi.

            Pada momen Sanghadana Kathina ini, sekarang anda sedang memegang Sanghadana anda, sama dengan saat terakhir kehidupan, anda memegang apa saja yang menjadi milik anda. Keluarga, harta, karir, kedudukan, pangkat, apapun juga. Suatu ketika, semua itu pun harus dilepaskan. Saudara-saudara, orang meninggal yang pertama tidak ikut adalah hartanya. Waktu masih hidup, mungkin anda punya berlian besar, jam Rolex, sepatu mahal, kalung mahal, dll. Tapi pada saat meninggal, semua yang mahal-mahal itu tidak ikut ke jenazah. Anda sudah pernah merawat jenazah? Adakah yang dibawakan berlian? Yang ada sih mutiara. Padahal waktu hidup, berliannya besar-besar, waktu meninggal hanya dikasih mutiara. Mutiara itu berapa harganya dibandingkan berlian? Mutiara segenggam, berlian satu saja belum dapat, ya kan? Tapi, ya itu tadi yang disertakan. “Ini lambangnya berlian, kamu sudah punya harta. Dah ku kasih mutiara, berlian aslinya buat aku saja ya.” Kemudian, biasanya ibu-ibu suka koleksi tas yang mahal-mahal, sampai harga berapapun. Yang dibingungkan, “Apa yang bisa kenyang punya tas harga segitu? Kalau dibawa bisa kenyang terus, bagus. Dibawa ya tetap lapar, dimakan juga tidak bisa, padahal mahal.” Saudara, begitu orangnya meninggal muncul ‘tasnya itu buat aku aja ya’. Mobil bagus juga begitu, waktu yang punya meninggal ya diambil sama yang masih hidup. Itu yang terjadi di saat meninggal, saudara. Hanya dikasih pakaian, dibelikan sepatu Bruce Lee, yang selama hidup saja tidak mau pakai. Sepatu zaman film Big Boss, sehari-hari saja tidak ada yang mau pakai. “Selama hidup milih sepatu mahal-mahal, pas meninggal hanya dikasih sepatu Bruce Lee itu. Ya sudah, itu saja.”

           Dari rumah, jenazah dikirim ke rumah duka misalnya Adi Jasa, harta-harta nya semua ditinggal di rumah. Yang ikut ke Adi Jasa, hanya teman sama saudara. Wah, temannya datang ke Adi Jasa, ngobrol-ngobrol dan menghabiskan roti. Waa, selesai kemudian biasanya baca Paritta, kalau umat Buddhis kan begitu biasanya. Selesai itu, eh makan lagi menghabiskan nasi. Sudah selesai semua akhirnya tiba hari pemberangkatan jenazah, biasanya kalau tidak dikubur ya dikremasi. Teman-teman yang ngumpul tadi, pada sibuk cari alasan, “Sorry ya, besok aku sibuk ada acara”, “Sorry ya, besok tidak bisa ikut ngantar.” Ketika teman-teman kita tidak ikut mengantar, yang tersisa hanyalah keluarga ntah mengantar ke Sentong Baru, Sentong Lama, Sukorejo, Kembang Kuning, dll. Saudara, di akhir cerita, keluarga yang tadi ikut mengantar misalnya ke Kembang Kuning, begitu pintu kremasi ditutup, tidak ada yang ikut. Nangis keras tapi di luar. Kalau nangisnya kencang, kan harusnya ikut masuk. Harusnya ikut lah menemani. “Aduu kamu kok sendirian di situ ya, anget-anget, aku temani ya.” Tidak ada yang berpikiran seperti itu. Saudara-saudara, siapapun yang meninggal akhirnya dikremasi atau dikubur SENDIRIAN! Semua yang dicari selama hidup ditinggalkan, mau itu harta, teman, maupun keluarga. Yang dibawa hanya perbuatan. Yang dibawa hanya pelepasan. Ketika dia lahir, dia sudah tanda tangan kontrak untuk meninggal. Maka pada saat dia meninggal, dia harus melepas segalanya. Beberapa orang yang sulit meninggal adalah karena ia sulit melepas. “Hartaku gimana, siapa nanti yang melanjutkan usahaku?”, “Nanti, keluargaku gimana, anak-anak masih kecil!”, “Bagaimana nih sepatuku yang muahal-muahal? Nanti siapa yang pakai ya?”. Sulit untuk melepas, itulah yang membuat orang tidak bisa meninggal dengan damai. Yang melihat sudah pasrah tahu napasnya tinggal 1, 1, 1, tapi tidak bisa meninggal-meninggal.

          Saudara-saudara, ketika anda berdana, melakukan Sanghadana ataupun melakukan kerelaan ntah kepada siapapun, dan memahami makna 1 kalimat dalam Dhamma, “Hidup itu berubah. Terimalah kenyataan itu”, maka pada saat nanti akan terlahir kembali, kerelaan anda akan diuji lagi. Sudahkah anda merelakan apa saja milik anda? Harta-harta anda, jam tangan, anting atau gelang yang mahal, pakaian yang mahal, mampukah anda melepasnya? Teman-teman anda, mampukah anda melepas mereka? Semua itu tidak bisa anda pertahankan. “Saya ingin menggenggam semua yang sudah saya cari selama ini.” Tidak bisa! Itu sama saja dengan anda menggenggam air. Coba saja bayangkan anda menggenggam air yang cair, bukan yang padat beku. Saya tekankan begitu agar tidak ada yang protes bahwa kita bisa menggenggam air tapi yang padat, es batu. Yang saya tekankan yang ini bukan wujud es, tapi yang cair. Ketika anda menggenggam air yang cair, anda hanya punya sementara saja di tangan anda, lama-lama air itu akan menerobos jari-jari anda. Ketika anda sadar, airnya sudah tidak ada, yang sisa hanya tangan yang basah, permukaannya saja. Begitu juga, ketika nanti anda menyerahkan Sanghadana ini, anda sebenarnya pernah punya, tapi setelah dipersembahkan anda sudah tidak punya lagi. Ini bukan hanya segitu saja, bukan hanya soal kelahiran, tapi apapun juga. Dalam sebuah pertemuan, ketika anda datang dan duduk di tempat yang telah disediakan, anda sudah melakukan 1 hal dan tinggal menunggu hal yang lain. Anda tidak bisa hanya duduk saja selamanya, karena pada saatnya nanti anda harus melepas, anda harus kembali ke rumah masing-masing. Berani datang, berani pulang. Berani pulang, berani datang lagi. Kenapa begitu? Ya, mudah, karena hidup ini tidak kekal.

            Ketika anda punya teman, sahabat, maka anda harus siap menghadapi perpisahan dengan mereka. Anda tidak bisa mempertahankan selamanya, sama seperti tadi saat menggenggam air. Kalau anda punya pasangan hidup, itu juga hanya sementara. Mungkin awalnya anda tanda tangan akte pernikahan dengan pasangan anda, suatu waktu pasti ada perpisahan. Seperti hanya menggenggam air, semuanya tidak akan bisa kita pertahankan selamanya. Anda yang melahirkan anak-anak yang lucu, yang pandai, yang ganteng dan cantik, mereka hanya anda genggam sementara karena ada saatnya dimana mereka pun akan berpisah dengan anda.

      Ada 1 orang tua mengeluh pada pasangan hidupnya, “Kita ini punya anak 5, (ini orang tua zaman dulu ya, jangan bayangin hari ini, boro-boro 5 punya 2 aja ribet) kelihatannya rumah kita ramai ya, ternyata akhirnya sepi juga. Akhirnya tinggal 2 juga, suami dan istri.” Loo, kemana 5 anak itu? Ya menikah dan pergi ke tempat lain, di luar negeri atau kota lain. Mereka hanya mengabari via telepon karena orang tuanya tidak bisa Whatsapp-an, SMS juga tidak bisa. “Pa, sehat Pa?”, tanya anaknya. Papanya menjawab, “Sehat, nak.” “Syukur dah Pa, ya udah cuman itu aja.”, kata anaknya. “Loo, sek-sek Papa mau ngomong.”, papanya kangen. “Sibuk loo Pa, aku ini!” Tut. Sebentar lagi ada yang telepon, dari anak ke-2. “Ma, mama sehat?”, tanya anaknya. “Sehat.”, jawab mamanya. “Baguslah, syukur lah, ya udah deh Ma gitu aja.” Sampai suatu waktu, lama menelepon kok tidak diangkat-angkat. Dimana ya? Mungkin sudah di RS, ATAU mungkin sudah di krematorium. Saudara-saudara, hal seperti ini sangat menyedihkan. Saudara-saudara yang punya anak lebih dari 1, coba direnungkan. Nanti endingnya, seperti tidak punya siapa-siapa loo! Ya kan? Kenapa? Karena yang anda genggam hanya air. Tangan basah, tapi hanya karena anda pernah pegang air sementara, akhirnya seluruh air itu keluar. Hidup itu tidak kekal.

            Anak, pasangan, teman, harta, bahkan hidup anda, semuanya akan lewat. Oleh karena itu, saudara-saudara, apa yang harus kita lakukan sekarang? Kita pasti berpisah, tidak mungkin kita tidak berpisah. Ntah lama atau cepat pasti berpisah. Anda pun dengan saya juga pasti berpisah. Tidak mungkin ada yang bertahan terus-terusan. Anda disini terus, saya disini terus, laa mau ngapain? Pengangguran kah? Pasti berpisah kan? Kapan ketemu? Tidak ada yang tahu, karena hidup itu tidak pasti! Kematian itu pasti! Lalu, sekarang apa yang harus kita lakukan dengan hidup? Dengan hidup kita sendiri saja tidak kekal. Dengan pasangan sendiri, juga tidak kekal. Dengan anak, juga begitu. Dengan teman, juga tidak kekal. Dengan siapapun juga tidak kekal, jadi terus apa yang harus kita lakukan?

            Ketika saat ini anda berdana Kathina ini, anda melakukan atau memberikan dana yang terbaik. Jubah, jubah yang terbaik. Kalaupun jubah itu pernah anda pakai, siapa tahu anda mantan Samanera atau mantan Bhikkhu, siapa tahu kan? Masih punya jubah kesayangan terus dilipat, tapi mbok ya tetap dicuci dulu! Jangan sampai baunya kayak kimchi. Anda bersihkan, cuci, setrika baru boleh anda persembahkan. Obat-obatan juga sama. Obat pusing merk A, tidak lalu anda cuil 1 karena pas berangkat tadi anda pusing, jalanan macet. “Bhante, sisanya untuk Bhante lah. Abis tadi saya kenak macet di patung kuda sana, pusing dah. Eh, waktu saya minum pusingnya hilang. Ayo Bhante coba minum Bhante. Ini separuhan saya Bhante, tadi saya paruh pakai gigi Bhante.” Saudara-saudara, saya percaya pasti anda tidak melakukan seperti itu, pasti anda pakai sendiri yang bekas-bekas itu. Anda pasti memberikan yang terbaik. Ini adalah 1 lambang, ketika anda hidup, lakukanlah yang terbaik dengan memberikan kebahagiaan kepada masyarakat, lingkungan, atau pasangan hidup anda. Ketika anda jadi suami-istri, bahagiakanlah pasangan hidup. Bahagiakan dengan badan, ucapan, dan pikiran anda. Sehingga, ketika perpisahan itu terjadi, tidak ada penyesalan karena kita sudah melakukan yang terbaik. Ketika anda punya teman, selama anda dekat dengan teman anda, bahagiakanlah, lakukan yang terbaik dengan badan, ucapan, dan pikiran. Jikalau nantinya pertemanan itu selesai, tidak ada penyesalan.

            Berapapun lamanya perjumpaan, suatu ketika pasti berpisah. Berapa lama pun anda memegang jubah itu, suatu ketika akan terlepas. Seberapa lama anda menjaga kesehatan, minum plasenta gajah sekalipun, hidup ini suatu saat pasti akan berakhir. Karena itu saudara, bukanlah akhir yang membuat hidup ini bahagia maupun tidak bahagia, tapi sesungguhnya selama hidup ini, apa yang sudah kita lakukanlah penentunya. Jalani langkah-langkah kehidupan ini dengan baik dan hati-hati sehingga tidak menyakiti lingkungan, pasangan, dan teman.

            Banyak pria menyatakan bahwa pasangan hidupnya bagaikan dewi di surga. Apa ibu-ibu pernah mendengar suaminya mengatakan seperti itu? Tidak? Bagi suami yang membaca ulasan ini, tolong nanti katakan kepada istrinya ‘oh dewiku’. Bagi yang namanya Dewi ya sudah enak. Bagi yang namanya bukan dewi, wajib bagi suaminya mengatakan seperti itu. Sebaliknya, untuk bapak-bapak, pernahkah mendengar istrinya menyebut anda sebagai dewa di rumah? Tidak? Waa, ibu-ibu jangan mahal-mahal ya, jangan mahal-mahal omongan baik. Ibu-ibu juga harus mengatakan kepada suaminya, ‘oh, suamiku, dewaku,, engkau dewa yang ku sayang.’ Saudara-saudara, bila dewa dan dewi berumah tangga, maka jadikanlah rumah sebagai surga, karena dewa dan dewi tinggalnya di surga, bukan di neraka. Kalau sampai pasangan hidup sudah tidak kerasan di rumah, berarti dewa dewinya hidupnya di neraka. “Aku ndak kerasan di rumah. Aku paling senang di vihara. Aku paling senang kalau di tempat kerja, tapi jangan sampai aku terlalu lama di rumah. Aku sebel liat mukamu, mbencekno kamu itu! Aku seperti hidup di nerakan sama kamu looo...!” Coba kita lihat, kalau sampai pasangan hidup anda tidak kerasan di rumah, kalau anak anda tidak kerasan di rumah, dewa dewi anda tidak kerasan di rumah. Maka rumah bukan surga tapi neraka.

            Bagaimana cara membangun surga di dalam rumah? Berperilaku-lah yang baik, berbicaralah yang baik, berpikirlah yang baik. Bagaimana yang disebut baik? Ketika anda berperilaku, ingat, perilaku anda ini menyakiti orang lain tidak ya? Mengecewakan orang lain tidak ya? Begitu juga saat berbicara dan berpikir. Kalau anda selalu berpikir tentang kebahagiaan orang lain, sama dengan saat Kathina, saat anda mendanakan jubah dengan kebahagiaan kepada Sangha, jubah dan segala perlengkapannya, maka rumah tangga anda akan bahagia. Keluarga, hubungan keluarga anda akan baik, harmonis, bisa bertahan lama. Tapi kalau anda lupa, perilaku, ucapan, dan pikiran anda bisa menyakiti bahkan mencelakakan orang lain. Maka kita harus siap menghadapi perpisahan karena apapun juga, perpisahan tidak akan bisa ditahan. Menggenggam air pasti tembus, hanya sisa yang basah, yang basah apa? Kenangan selama kita berkumpul. Inilah salah satu makna Kathina. Pada 30 vassa Bhante Uttamo menjadi Bhikkhu, mungkin sudah 30  atau 29 x kita melakukan Sanghadana dan ini seperti memegang air karena tentu tidak bisa setiap saat, tidak bisa setiap tahun kita bertemu. Tapi minimal pertemuan seperti Sanghadana Kathina ini memberikan manfaat untuk tumbuhnya keyakinan kita, semangat untuk mengisi kehidupan kita agar di dalam kehidupan ini kita menjadi orang yang saling bisa memahami.

            Demikian ulasan ulang yang bisa saya tuliskan. Semoga kebahagiaan menjadi milik kita semua. Semoga kita terjauhkan dari kesulitan, terdekatkan dengan kesuksesan, berkat kebajikan yang kita miliki. Semoga kita berbahagia, keluarga kita berbahagia. Semoga semua makhluk beroleh kebahagiaan sesuai karmanya masing-masing. Sadhu Sadhu Sadhu...

Komentar

Postingan Populer