Jangan Lalai, Waspadalah!

 Jangan Lalai! Waspadalah!

Oleh: Upc. Indra Kurniawan


"Patacara, bahkan jika seseorang hidup selama seratus tahun tanpa melihat (melalui Pandangan Cerah) muncul dan lenyapnya fenomena berkondisi (yaitu, batin dan jasmani), adalah lebih baik hidup selama satu hari bagi seseorang yang melihat muncul dan lenyapnya batin dan jasmani."
(Dhammapada VIII : 113)


Sahabatku yang terkasih dalam Dhamma, cukup lama saya tidak berbagi dalam blog saya ini. Keadaan saat ini, seperti yang kita ketahui, sangatlah memprihatinkan. Covid-19 begitu cepat menyebar ke segala penjuru dunia ini. Ketika daya tahan tubuh seseorang lemah, Covid-19 dengan ganasnya menyebabkan kematian. Sudah sangat banyak kematian yang disebabkan oleh Covid-19 ini. Walaupun para pakar telah menyerukan penanggulangan wabah ini, jika kita masih tidak waspada, sembrono, maka kita akan jauh lebih mudah terjangkit Covid ini. Bukan suatu hal yang sulit sebenarnya, social-distancing, jaga kebersihan diri, cuci tangan, pakai masker. Namun, yang namanya manusia yang notabene adalah makhluk sosial, saya rasa tidak ketemu teman sebentar saja sudah merasa gatal.

Para dokter pun juga harus menjadi korban Covid-19 ini, bukan karena ketidakwaspadaan namun sudah menjadi tugas mereka untuk langsung menangani para pasien. Alhasil, tubuh mereka terinfeksi. Dengan maraknya kabar kematian ini, bagaimana kita menyikapi femonena ini? Tentunya, sebagai sesama umat Buddha, apa yang bisa kita lihat dari fenomena ini? Sang Buddha selalu menekankan mengenai kesadaran. Kesadaran membawa kita pada kewaspadaan, kehati-hatian, ketenangan, dan berujung pada kebahagiaan. Eling lan waspodo begitu penting bahkan sebelum meluasnya wabah ini.

Salah satu sifat yang tak bisa diganggu gugat, ditolak, ataupun dihindari dari kehidupan ini yaitu bahwa segala sesuatu yang berkondisi bersifat timbul dan tenggelam atau lenyap. Apapun itu yang berkondisi tidak terkecuali fenomena batin dan jasmani kita akan selalu timbul dan lenyap. Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa ketika kita lahir pada kehidupan saat ini, akan ada saatnya kita meninggalkan kehidupan ini. Kita inginnya hidup enak terus menerus, tapi nyatanya manusia selalu bertemu dengan yang namanya sakit, menuju usia tua, dan nantinya akan meninggal dunia. Ini fakta. Namun, pertanyaannya berapa persen yang mampu melihat kenyataan dari fenomena ini dan bisa menerima konsekuensinya?

Ya, contohnya begini, ada seorang istri yang sangat mencintai suaminya. Tiba-tiba suaminya terkena diagnosa positif covid-19. Si istri ini kaget. Dia tidak bisa menerima keadaan tersebut. Dia begitu marah dan tidak bisa menerima bahkan sampai suaminya meninggal dunia. Apakah kemarahan dan perasaan tidak bisa menerima itu ada manfaatnya? Tidak, itu hanya sia-sia belaka. Semua makhluk hidup pasti mengalami kematian. Bahkan para Dewa pun tidak selamanya tinggal di surga yang katanya penuh hal kebahagiaan. Semua ada masanya, semua ada timbul dan lenyapnya. Ketika seseorang tidak mampu melihat dan menerima kondisi tersebut, maka ia tidak mampu memperoleh Pandangan Cerah. Persepsinya akan selalu salah dan ia akan hidup dengan penderitaan. Sia-sia belaka.

Berhubungan dengan kematian, ada suatu kisah di zaman kehidupan Guru Agung Sang Buddha Gotama. Dikisahkan, hiduplah seorang Bhikkhuni bernama Patacara yang terkenal sebagai ahli Vinaya. Sebelum ditahbiskan menjadi seorang Bhikkhuni, berkat perbuatan bajiknya pada kehidupan lampau, ia terlahir sebagai putri seorang kaya dari Savatthi. Ia begitu cantik sampai orang tuanya ingin menikahkan putrinya dengan seorang kaya yang lain. Tapi, si putri ini jatuh cinta dengan seorang pelayan ayahnya. Mendengar kabar bahwa ayahnya akan menikahkannya dengan pemuda lain, si putri sedikit memaksa pelayan ini untuk segera menikahinya. Pelayan itu juga begitu mencintai putri tersebut dan akhirnya mereka melarikan diri dan tiba di sebuah desa kecil, tiga atau empat yojana jauhnya dari Savatthi.

Seiring berjalannya waktu, putri itu hamil dan berpikir bahwa karena tempat mereka ini terpencil jauh lebih baik kembali ke rumah ayahnya. Si suami ini orangnya penakut, ia tidak berani kembali menghadap mantan majikannya. Pada akhirnya, si suami mengulur-ngulur waktu dengan banyak alasan. Alhasil, sang istri memutuskan kembali sendiri. Sang suami kaget ketika melihat rumahnya kosong, dengan perasaan menyesal ia pergi menyusul sang istri. Ternyata di tengah perjalanan, istrinya melahirkan. Mereka berpikir, sekarang ini anaknya sudah lahir dengan selamat, jadi tidak perlu lagi ke rumah orang tua sang istri. Mereka pun kembali ke rumah terpencil itu.

Kejadian ini terjadi lagi menjelang kelahiran anak kedua. Seperti yang terjadi di awal tadi, sang istri pergi sendiri untuk kembali ke rumah ayahnya. Dalam perjalanan menuju rumah ayahnya, ia melahirkan anak keduanya dengan selamat dan bertemu dengan suaminya yang menyusulnya. Tiba-tiba terjadi hujan yang sangat deras di empat penjuru. Sang istri minta tolong suaminya untuk membuat tempat berteduh berupa gubuk darurat. Sang suami mencari kayu dan menemukannya dan ia berpikir untuk mencari rumput untuk membuat tanggul.

Malangnya, ia tidak berhati-hati. Ketika mencabut rumput yang ia temukan, tanpa sengaja, ia membangunkan seekor ular kobra di dalam tanah. Pastinya, kobra yang terganggu keluar dan mematuk orang itu yang seketika mati. Sang istri menunggu lama di gubuk darurat dan akhirnya mencarinya. Ketika dia melihat suaminya meninggal, ia menangis. Terpaksa ia membawa dua anaknya berjalan menuju Savatthi. Kemalangannya tidak berakhir begitu saja, ia harus menyeberangi sungai yang dangkal (yang sekilas terlihat dalam). Ia ragu-ragu untuk menyeberangi sungai itu dengan membawa dua anak sekaligus. Maka, anak pertamanya ditinggal di tepi sungai dan setelah menyeberanginya ia meninggalkan bayinya yang satu lagi di tepi seberang. Ia memutuskan kembali untuk mengambil anak pertamanya. Tetapi, saat ia masih di tengah-tengah, seekor burung elang besar menyambar bayinya karena dikira mangsanya. Sang ibu terkejut dan melambaikan tangan untuk mengusir elang tersebut.

Si anak pertama melihatnya, namun salah mengartikan gerakan tangan sang ibu. Dikira ia dipanggil oleh ibunya untuk menghampirinya. Ia terpeleset dan hanyut terbawa arus. Sebelum sang ibu berhasil menghampiri bayinya, burung itu telah menangkap dan membawa terbang jauh bayi itu. Ia menangis dan meratapi nasibnya saat itu. Kedua anaknya telah mati begitu juga dengan suaminya.

Sambil meratap, ia melanjutkan perjalanannya menuju Savatthi. Namun, sesampainya disana, ia tidak bisa menemukan rumah orang tuanya. Ternyata, setelah mendengar kabar dari seorang penduduk, rumah orang tuanya hancur oleh badai. Semua penghuni rumah itu mati dan dikremasikan dalam satu tumpukan. Bayangkan saja, betapa terkejutnya si putri ini. Ia jatuh pingsan, dan ketika sadar ia kehilangan akal sehatnya. Ia melepaskan pakaiannya dengan tangan terangkat liar, ia mendatangi tumpukan kayu sisa pembakaran itu dan meratap;

Kedua anakku telah mati!
Dan suamiku juga telah mati dalam perjalanan!
Ibuku, ayahku, dan saudaraku, (telah tewas bersama)
Telah dikremasi dalam satu tumpukan.

Putri orang kaya itu berkeliaran di kota dengan telanjang. Ketika para penduduk mencoba menutupi tubuhnya, ia merobek pakaian itu. Demikianlah ke mana pun ia pergi, ia dikelilingi oleh kerumunan orang yang keheranan. Ia kemudian dijuluki sebagai Patacara (perempuan telanjang / perempuan tidak tahu malu). Parahnya, ia pun harus menerima perlakuan yang tidak baik dari beberapa orang.

Kejadian ini terlihat oleh Sang Buddha sewaktu Beliau membabarkan khotbah kepada para hadirin di Vihara Jetavana. Melihat bahwa indrianya telah matang, Buddha berkehendak agar Patacara mendatangi-Nya di vihara. Para penduduk pastinya mencoba untuk mencegahnya datang ke vihara tetapi Buddha membiarkannya. Ketika ia mendekat, Buddha berkata kepadanya, "Patacara, sadarlah!"

Segera setelah mendengar kata-kata Buddha, berkat kekuatan Buddha, akal sehatnya pulih kembali. Ia malu melihat kondisi tubuhnya yang telanjang. Kemudian seseorang melemparkan pakaian kepadanya yang segera ia pakai dengan cara menyelimuti dirinya. Ia maju menghadap Buddha dan menceritakan kisah tragisnya.

Mendengar kisah tersebut, Sang Buddha berkata, "Patacara, jangan ragu. Engkau telah datang kepada siapa engkau dapat berlindung. Seperti engkau telah meneteskan air mata karena kehilangan anak-anakmu, suamimu, ayah dan ibumu, demikian pula engkau telah meneteskan banyak air mata, yang bahkan lebih banyak daripada air di empat samudra, selama berada dalam lingkaran kehidupan yang tidak berawal."

"Patacara, air di empat samudra masih lebih sedikit jika dibandingkan dengan jumlah air mata yang telah diteteskan seseorang karena kesedihan yang ditimbulkan oleh kehilangan orang yang ia sayangi. Sekarang, anak-Ku, mengapa engkau begitu lalai? Waspadalah."

Kesedihan dalam batin Patacara berkurang setelah mendengarkan khotbah yang berisikan perspektif samsara. Lalu Sang Buddha yang mengetahui hal tersebut melanjutkan, "Patacara, anak atau suami tidak dapat melindungi seseorang dalam perjalanan setelah kematian, mereka bukanlah perlindungan bagi seseorang. Oleh karena itu, walaupun anak atau suami masih hidup, mereka sama seperti tidak ada bagi seorang pengembara di dalam samsara. Seorang bijaksana harus menyucikan moralitasnya dan menjalani praktik mulia yang mengarah menuju Nibbana."

 "Patacara ketika seseorang jatuh menjadi korban kematian, anak atau orang tua atau saudara tidak dapat melindunginya; sanak saudara seseorang tidak mampu memberikan perlindungan."

(Dhammapada , v.288)

Mengetahui tidak adanya perlindungan terhadap kematian, orang bijaksana yang terkendali moralitasnya harus bergegas membersihkan Jalan Ariya yang mengarah menuju Nibbana. Pada akhir khotbah itu, Patacara membakar kotorannya yang tidak terhingga melalui Pengetahuan Pemenang Arus dan mencapai Sotapatti-Magga dan pada akhirnya ditahbiskan menjadi seorang Bhikkhuni.

Suatu ketika Bhikkhuni Patacara sedang mencuci kakinya. Sewaktu ia menyiramkan air ke kakinya, air mengalir sebentar kemudian berhenti. Ketika gayung kedua disiramkan, air itu mengalir sedikit lebih jauh dari air pertama kemudian berhenti. Ketik gayung ketiga disiramkan, air itu mengalir sedikit lebih jauh dari gayung kedua. Patacara bermeditasi pada fenomena tiga aliran air tersebut,dan menerapkannya dalam tiga periode kehidupan sebagai berikut:

Seperti halnya aliran pertama akan berhenti di tempat yang dekat, makhluk-makhluk hidup dapat mengalami kematian dalam periode pertama kehidupan mereka. Seperti halnya aliran ke dua yang mengalir lebih jauh daripada aliran pertama dan berhenti, demikian pula makhluk-makhluk hidup dapat mengalami kematian dalam periode menengah kehidupan mereka. Dan begitu pula, yang terjadi seperti aliran ke tiga, demikian pula makhluk-makhluk hidup dapat mengalami kematian dalam periode terakhir kehidupan mereka.

Lebih jauh lagi, ia merenungkan bahwa seperti halnya tiga aliran air yang harus berhenti dan lenyap, demikian pula makhluk-makhluk hidup harus menghentikan kehidupannya dan binasa. Demikianlah, ketidakkekalan dari segala sesuatu membangkitkan Pandangan Cerah ke dalam semua fenomena berkondisi. Dari Pandangan Cerah atas ketidakkekalan itu, corak penderitaan dari semua femonena berkondisi terbit dalam batinnya yang berkondisi; dan selanjutnya tanpa-diri, kekosongan dari segala fenomena berkondisi juga terlihat.

  Sang Buddha yang mengetahui hal tersebut, melengkapi sebagai berikut: "Patacara engkau berpikir benar; semua makhluk hidup pasti mengalami kematian. Oleh karena itu, sia-sialah hidup selama seratus tahun tanpa persepsi benar tentang lima kelompok kehidupan, tentang muncul dan lenyapnya; lebih baik hidup selama satu hari dengan penuh pemahaman terhadap lima kelompok kehidupan." Pada akhir khotbah itu, Patacara mencapai Kearahattaan.

Saudara ku dalam Dhamma, dari kisah ini jelas sekali, siapapun tidak bisa terhindar dari yang namanya kematian. Kematian tidak pandang kedudukan, tidak pandang usia, tidak bisa dihalangi kehadirannya. Ketika seorang wanita jatuh sakit misalnya, suami dan anaknya tidak akan pernah bisa melindungi atau meminta kematian tidak menghampiri istri ataupun ibunya. Kalaupun selamat pada saat itu, suatu saat kematian itu pasti menghampiri siapapun yang berkondisi. Percuma saja, kita berusaha melindungi diri kita dari yang namanya kematian. Yang justru perlu dilindungi adalah batin dan jasmani kita dari hal-hal yang buruk. Pagari batin kita dari persepsi salah, perasaan buruk, keingingan buruk. Pagari jasmani dari melakukan sesuatu yang tidak bermanfaat, dari ucapan yang menyakitkan hati.

Jangan lalai! Waspadalah! Kuatkan keyakinan kita terhadap Buddha, Dhamma, dan Sangha. Ikuti apa yang baik dan jangan lupa tinggalkan apa yang buruk. Perkuat pelatihan moralitas. Setiap saat, jangan lupa menyucikan hati dan pikiran kita. Semua ini adalah semata-mata bekal bagi kita jika sewaktu-waktu kematian mendekati kita. Jangan pernah meminta orang lain untuk terus berbuat baik, namun kita sendiri lupa untuk berbuat baik. Yang rugi tak lain adalah kita sendiri. Kematian bukanlah hal yang mengerikan. Hal yang lebih mengerikan adalah bahwa kita tidak pernah menyempatkan diri kita untuk sadar, waspada, dan giat berbuat baik.

Dalam kisah Patacara, sangat beruntung dia disadarkan oleh Sang Buddha yang bisa melihat kematangannya. Zaman sekarang belum ada sosok Buddha, tapi ketika kita memahami dengan benar-benar akan apa yang telah diajarkan Sang Buddha dalam Dhamma dan disharingkan oleh para Sangha, disanalah kita menjadi dekat dengan Sang Buddha. Ajaran-Nya lah yang bisa dijadikan pelindung bagi kita untuk menempuh perjalanan hidup yang benar dan bermanfaat. Tidak ada siapapun yang terkecuali diri kita sendiri yang bisa melindungi pikiran, perbuatan, dan ucapan kita sehari-hari. Tempuhlah hidup satu hari dengan menyadari fenomena muncul dan lenyapnya batin dan jasmani, daripada anda harus hidup seratus tahun dengan sia-sia.

Semoga dengan sedikit ulasan ini, bisa membuat saya dan anda sadar bahwa penentu kehidupan yang kita jalani tak lain tak bukan adalah diri kita sendiri. Mengapa kita menderita? Karena diri kitalah yang lalai dan tidak waspada. Mengapa kita bisa hidup dengan damai dan bahagia? Tak lain tak bukan adalah karena kita sadar dan memiliki Pandangan Cerah. Jika hal ini masih terasa sulit, jangan malu untuk belajar dari orang yang bijaksana. Belajar dan meniru apa yang baik, bukanlah hal yang memalukan. Lebih memalukan, kita lalai dan waspada sehingga kita hanya berputar di alam samsara tanpa tahu tujuan yang sebenarnya. Terutama dalam kondisi sekarang ini dimana wabah Covid-19 begitu luasnya penyebarannya, mau tidak mau kita menghindari tindakan sembrono sehingga bisa hidup dengan baik dan bijaksana. Semoga semua makhluk hidup dengan penuh kewaspadaan, berhati-hati dan tenang, sehingga terhindar dari kelalaian dan menemukan Pantai Seberang, atau Nibbana.

Komentar

  1. Las Vegas Hotel and Casino - KTNV
    The Bellagio Casino resort 구리 출장안마 features a 30-story, 안성 출장샵 15,000-square-foot 제주도 출장안마 stage located at the south end 사천 출장마사지 of the casino. The room features a seating 구리 출장샵 area

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer