Gelap atau Terang?

 Gelap atau Terang?

Oleh: Upc. Indra Kurniawan


"Di Alam Rendah, tidak ada (sulit sekali untuk mempunyai) tindakan yang berdasarkan Dhamma, perilaku yang baik, kesempatan melakukan perbuatan baik dan berjasa. Di sana mereka saling memakan, yang lemah dimakan oleh yang kuat."

Balapandita Sutta (MN. 129)


Saudara-saudaraku dalam Dhamma, saya harap anda semua dimanapun anda berada, diberi kesehatan, panjang usia, untuk bisa terus berkarya, belajar dan mempraktikkan Dhamma yang indah pada permulaan, indah pada pertengahan, dan indah pada akhirnya. Dhamma adalah suatu ajaran kehidupan yang begitu luas kajiannya. Dhamma disebut pula sebagai kebenaran universal sehingga bukan hanya untuk dipelajari, dipahami, namun bisa dipraktikkan. Apa yang serasa baik dan bermanfaat bisa dijalankan. Sebaliknya, kalau itu hal yang tidak bermanfaat, hendaknya kita menghindarinya.

Sesuai dengan judul yang saya cantumkan di atas adalah soal Gelap atau Terang? Dalam konteks ini, bisakah anda menerka apa yang dimaksud dengan Gelap dan Terang tersebut? Apakah ada hubungannya dengan konteks Dhamma itu sendiri? Gelap, yang dimaksudkan dalam hal ini adalah suatu keadaan kehidupan yang kekurangan atau bisa juga diartikan sebagai 4 alam rendah. Sedangkan, Terang, diartikan sebagai suatu keadaan dari kehidupan yang berkecukupan seperti yang terjadi di alam bahagia (manusia, dewa, dan Brahma). Dari 2 kondisi ini, Sang Buddha menggambarkan 4 macam tipe manusia dalam Tamonata Sutta (AN 4.85).

Seperti yang bisa kita lihat dalam kondisi kehidupan di sekitar kita, ada orang yang dari lahir sudah menderita bahkan sampai tua juga menderita. Ada yang hidupnya menderita di awal, tapi akhirnya bahagia. Ada yang lahir kaya maupun berkecukupan tapi akhirnya menderita karena kegagalan ataupun bangkrut. Ada yang lahir kaya sampai tua tetap kaya dan bahagia. Kondisi ini bukan suatu hal yang asing di sekitar kita. Sang Buddha menjabarkan kondisi manusia ini menjadi 4 macam, yaitu manusia yang dari Gelap ke Gelap, dari Gelap ke Terang, dari Terang ke Gelap, dan dari Terang ke Terang.

Kira-kira sekarang ini kondisi kita masuk yang nomor berapa? Dan dari 4 macam itu, kita ingin yang nomor berapa? Nomor 3 tampaknya cukup bagus, eits, tapi ternyata tidak happy-ending. Kalau kita normal, kita pasti ingin yang nomor 4, terang tetap ke terang. Tapi, yakin tidak kondisi kita sekarang ini bisa mewujudkan nomor 4 itu? Apakah ada caranya? Jika anda merasa pasti ada caranya, mari kita simak ulasan berikut ini:

1. Dari Gelap ke Gelap

Melihat kondisinya, kita sudah bisa merasakan bahwa kondisi yang satu ini isinya penderitaan saja. Benar sekali. Manusia yang berada di keadaan gelap adalah orang yang terlahir dengan berbagai kekurangan, baik secara fisik ataupun hidup di lingkungan yang tidak mendukung. Mungkin saja orang itu kekurangan secara ekonomi, sulit untuk mendapatkan sandang, pangan, dan papan. Fisiknya mungkin tidak sempurna. Sayangnya, walaupun mereka berada di keadaan seperti ini, mereka tidak menyadari ataupun merenungkan keadaannya dan tidak ada tekad untuk bangkit. Parahnya lagi, mereka juga melakukan perbuatan-perbuatan yang kurang baik melalui ucapan, perbuatan, maupun pikiran.

Dapat dipastikan, ketika orang ini meninggal, ia akan terlahir kembali di 4 alam rendah yaitu alam binatang (tiracchana), setan (peta), jin / raksasa (ashura), dan alam neraka (niraya). Inilah yang dimaksud dengan dari Gelap ke Gelap, dari keadaan yang awalnya tidak baik menuju ke keadaan yang tidak baik. Apakah ada manusia yang seperti ini? Ada, dan mungkin tanpa kita sadari masih banyak. Mereka bisa saja tinggal di bawah kolong jembatan, di pinggiran toko / gedung, di bantaran sungai, dll. Tidak semua yang seperti ini berakhir ke yang gelap, namun sebagian besar berakhir dengan menyedihkan karena mereka tidak pernah berjuang / berontak untuk keluar dari keadaan tersebut. Mereka tidak pernah peduli ataupun mungkin tidak paham akan kedermawanan, moralitas, apalagi pengembangan mental (meditasi). Kekurangan-kekurangan ini diperparah dengan perbuatan, ucapan, dan pikiran yang buruk.

Salah satu penyebab dari tipe manusia yang pertama ini adalah moha (kebodohan) dan lingkungan yang tidak ramah. Dengan keadaan seperti ini, sulit sekali bagi mereka untuk mengembangkan hal-hal ataupun kebiasaan yang baik. Jika sudah sangat parah dan pada akhirnya terlahir di 4 alam rendah itu, Sang Buddha menerangkan bahwa sangat sulit untuk bisa kembali ke alam manusia. Ini memperjelas bahwa semakin tebal kadar lobha (keserakahan), dosa (kebencian), dan moha (kebodohan) seseorang, semakin kecil pula peluang terlahir di alam yang bahagia.

Penderitaan yang bisa dirasakan tidak hanya saat terlahir kembali di alam rendah tersebut, tapi sudah dirasakan saat masih menjadi manusia. Seperti yang tadi dijelaskan, tidak sedikit orang yang kekurangan bukannya malah melakukan hal yang baik tapi malah rajin melakukan yang buruk. Yang lebih kuat sedikit bisa saja melecehkan yang lebih lemah. Ada yang karena benar-benar kehabisan akal, akhirnya menjadi pencopet atau pencuri. Boro-boro dia masuk penjara, kadang kalau ketahuan bisa saja hukum kroyokkan langsung berbuah. Banyak sekali dari mereka yang terkena batunya langsung, tertangkap warga, dipukuli, lalu meninggal di tempat. Hendaknya, kita merenungi hal-hal seperti ini, supaya kita ada waktu untuk terus berusaha agar tidak terjatuh atau terlahir di dalam keadaan yang tidak baik (gelap).

2. Dari Gelap ke Terang

Menelaah dari penjelasan di kondisi nomor 1, mengerikan sekali dampak yang terjadi di sana. Selain di kehidupan ini ia akan menderita, sekali masuk ke alam rendah, ia akan sulit untuk bisa kembali ke alam manusia atau keadaan yang lebih baik. Kalau kita tidak bisa kembali ke alam manusia, maka kesempatan kita memiliki kesadaran, belajar dan praktik Dhamma akan begitu nihil. Sungguh sangat disayangkan. Namun, ketika anda terlahir di kondisi yang penuh kekurangan, bukan berarti mustahil bagi anda untuk meraih tempat yang terang. Hanya melalui usaha yang benar dan tekad untuk berjuang terbebas dari kegelapan, seseorang baru bisa mencapai kondisi yang lebih baik. Caranya mudah, awali dengan mengembangkan dan melakukan hal-hal baik melalui pikiran, ucapan, dan jasmani, percayalah ketika anda berhasil menjadikan hal baik sebagai kebiasaan peluang anda terlahir di alam yang membahagiakan akan besar. Inilah yang dimaksud dengan manusia yang berjalan dari keadaan Gelap menuju ke Terang.

Bagaimana mereka bisa melakukan hal ini? Mereka harus benar-benar paham akan keadaan hidupnya dengan sungguh-sungguh dan berusaha semaksimal mungkin untuk keluar dari keadaan buruk tersebut. Jika paham akan hukum karma, itu hal yang lebih bagus. Karena dengan paham akan hukum karma, cara kerjanya terutama, mereka akan menyadari bahwa penentu keadaan hidup seseorang adalah dari perbuatannya sendiri. Jadi, tidak ada gunanya menyalahkan orang lain, mencari kambing berwarna hitam dimana-mana. Lahir menderita ini adalah hasil karma perbuatan lampau, sadari dan berusahalah bangkit supaya tidak terjadi penderitaan yang berkelanjutan. Beda, dengan manusia nomor 1, mereka akan melabeli hidup mereka sebagai NASIB atau TAKDIR, kalau sudah begini sia-sia saja.

Saya pernah membaca satu artikel tentang kehidupan orang Myanmar. Ini adalah contoh hidup manusia-manusia yang berada di kategori kedua ini. Tidak sedikit, penduduk Myanmar yang hidup dengan kekurangan bahkan memprihatinkan. Namun, untungnya sebagian besar dari mereka memeluk Agama Buddha yang taat dan paham akan hukum karma. Bila ada Bhikkhu yang berpindapatta / berkeliling untuk mengumpulkan dana makan, mereka akan berusaha untuk berdana walaupun itu hanya setengah sendok makan nasi putih. Kalau kondisinya tidak memungkinkan, mereka mendanakan tenaga mereka dengan datang ke vihara untuk ntah membersihkan lingkungan vihara atau apapun yang mereka bisa lakukan. Mereka tidak mengeluh dan hanya diam saja karena keadaan mereka. Mereka tidak menawar untuk hanya melakukan 3 moralitas (sila), namun sepenuhnya mereka menjalankan 5 moralitas dengan sungguh-sungguh dan bahkan 8 moralitas. Mereka juga menyempatkan diri untuk berlatih bermeditasi.

Hidup yang seperti inilah yang dikatakan dari Gelap menuju Terang. Walaupun menderita dan sulit, tapi dengan tetap berupaya yang terbaik, kehidupan saat ini maupun yang akan datang telah dijamin membawa mereka menuju hal yang membahagiakan. Ada satu kisah pada zaman Buddha Gotama, hiduplah seorang bernama Tambadathika dimana ia lahir di lingkungan yang kekurangan dan tubuhnya penuh dengan bekas luka. Kondisi yang seperti ini membuat ia tergabung dengan gerombolan penyamun. Suatu saat, gerombolan ini tertangkap dan divonis hukuman mati (penggal kepala), tapi tidak ada yang bisa melakukan hukuman tersebut. Mulai dari kepala penyamun sampai semua anggota penyamun yang ditangkap ditawari untuk jadi eksekutor memenggal kawan-kawannya sendiri tapi tidak ada yang berani menyanggupi kecuali Tambadathika. Ia menyanggupinya dan menjadi algojo kerajaan selama 55 tahun.

Suatu ketika, Bhante Sariputta berpindapatta ke rumahnya. Si algojo sadar bahwa dirinya telah banyak sekali melakukan perbuatan buruk dan ini mungkin adalah kesempatan yang baik baginya untuk berbuat baik melalui berdana makanan. Setelah selesai makan, Bhante pun memberikan ceramah Dhamma sebagai ungkapan terima kasih. Tapi, Tambadathika tidak bisa menangkap ceramah tersebut karena dihantui rasa bersalah. Berkat kebijaksanaan Bhante Sariputta, pada akhirnya si algojo menjadi tenang dan dapat mengikuti serta merenungkan (ber-vipassana) dengan baik ceramah tersebut bahkan mencapai Sotapanna. Ia dengan senang hati menemani Bhante yang pergi pulang namun malangnya saat kembali ke rumah ia diterjang seekor sapi yang dirasuki oleh jin hingga meninggal. Sebelum bertemu Bhante Sariputta, jelas ia masuk jenis manusia pertama. Tapi berkat kekuatan karma baik dari meditasi vipassananya ia terlahir di alam dewa Tusita.

Ada satu kisah lagi, di salah satu kehidupan lampau Bhante Anuruddha pernah terlahir sebagai seorang tukang rumput, bernama Annabhara. Suatu hari, ada seorang Pacceka Buddha yang baru saja keluar dari kondisi ketenangannya di Gunung Gandhamadana terbang dan turun tidak jauh dari hadapan Annabhara untuk berpindapatta. Walaupun ia hanya seorang tukang rumput, ia segera berlari ke rumahnya untuk mengambil makanan yang seharusnya disiapkan istrinya untuk dia dan didanakan kepada Pacceka Buddha Uparittha. Setelah ia berdana, ia mengucapkan harapannya, "Bhante sebagai akibat dari dana makan ini, semoga saya tidak pernah terlahir di keluarga miskin lagi di kehidupan berikutnya. Semoga saya tidak pernah mendengar dan mengetahui kata tidak ada." Di waktu yang bersamaan, dewa yang tinggal di rumah saudagar Sumana majikan Annabhara senang dan mengucapkan Sadhu! Sadhu! Sadhu.

Sumana yang tahu kaget dan berpikir, "Waa ini aneh, saya yang berdana terus menerus tidak pernah dengar dewa itu berkata seperti itu." Singkat cerita, Sumana memanggilnya tukang rumput itu dan bertanya perbuatan baik apa sih yang telah dilakukannya. Sumana yang takjub menawarkan satu keping uang untuk mendapatkan dana kusala tersebut. Si tukang rumput menolaknya walaupun diiming-iming bahkan sampai seribu keping. Lalu, setelah bertanya pada Paccekka Buddha dan memahami bahwa jasa kebajikan memang seharusnya dibagikan dan hal itu tidak akan mengurangi jumlahnya malah akan menambahnya. Sumana yang senang benar-benar memberikan seribu keping uangnya kepada si tukang rumput bahkan mereka bisa mendapatkan kesempatan bertemu Raja. Singkat cerita, setelah bertemu Raja, kehidupan tukang rumput itu menjadi jauh lebih baik dan bahkan menjadi orang yang sangat kaya pada akhirnya. Hidupnya yang awalnya Gelap berubah ke Terang.

3. Dari Terang ke Gelap

Kalau kondisi yang ketiga ini agak berbeda dengan yang 2 sebelumnya. Orang yang di kondisi ini lahir berkecukupan, keluarga baik-baik, bahkan ada yang lahir di kalangan atas. Mereka punya harta benda, kebutuhan pokok tercukupi, kebutuhan sekunder apalagi, semua dapat diperoleh dengan mudah. Dari penampilan fisik, mereka terlihat sempurna. Tapi, sayangnya mereka lebih sering melakukan perbuatan buruk baik melalui pikiran, ucapan, dan jasmani. Akibatnya, tidak berbeda dengan nomor 1 yaitu terlahir di alam rendah.

Zaman sekarang ini, manusia tipe ketiga banyak sekali dan mudah ditemui. Dengan kondisi yang mudah untuk memuaskan kebutuhan materi, tak sedikit yang melakukannya dengan cara yang salah misalnya melalui penipuan, korupsi, penggelapan, dll. Hal ini diperparah terjadi di berbagai sektor. Semakin banyak yang mereka dapat bukan memuaskan mereka, tapi meningkatkan keserakahan mereka. Yang kali ini jelas bukan hanya bodoh tapi juga serakah yang menyelubungi kehidupan mereka. Contoh yang nyata, biasanya koruptor itu akan santai-santai kalau belum ketahuan oleh pihak berwajib, kalau sudah ketahuan penderitaan sangatlah terasa. Hal ini sesuai dengan syair Dhammapada no. 69, Selama perbuatan buruk belum berbuah, si bodoh berpikir hal itu manis bagaikan madu; tetapi ketika perbuatan buruknya berbuah, ia akan menderita karenanya.

Kita lihat dari satu kisah lagi pada zaman Sang Buddha. Suatu ketika Anathapindika menemui Sang Buddha untuk menceritakan tentang keponakan laki-lakinya yang sangat malas dan hanya menghabiskan waktunya untuk berfoya-foya. Dia menghabiskan warisannya yang begitu besar dengan selalu berhura-hura. Setelah kehabisan uang, ia pergi menemui pamannya untuk meminta uang. Pastinya, dipakai lagi untuk berhura-hura. Uangnya habis lagi, dia diberi 2 helai kain yang kasar. Kainnya rusak dia minta lagi ke pamannya namun kali ini dia diusir. Setelah keluar dari pintu rumah, dalam keadaan yang tidak berdaya, dia terjatuh dekat tembok samping rumah pamannya dan meninggal di sana. Sang Buddha setelah mendengar kisah tersebut berkata, "Bagaimana kamu dapat berharap untuk bisa memuaskan dia yang di masa lalu Saya pun gagal untuk dapat memuaskannya, bahkan ketika Saya berikan cangkir permohonan?" Ternyata, pada kehidupan lampaunya pun, bakal keponakannya ini juga hanya bisa berhura-hura bahkan ketika diberikan simpati oleh dewa Sakka melalui cangkir permohonan hal itu hanya menjadi sia-sia dan pecah. Melalui kondisi ini, kita bisa melihat seterang apapun kehidupan awal kita, tanpa kebijaksanaan dan kalah dengan 3 noda dan kemalasan, seseorang akan terjatuh di tempat yang Gelap.

4.  Dari Terang ke Terang

Dambaan setiap manusia pastinya yang satu ini. Penggambaran kondisi awal seperti yang tertulis pada nomor 3. Perbedaannya adalah mereka sering melakukan perbuatan baik melalui pikiran, ucapan, dan jasmani. Akibatnya mereka bisa terlahir di alam bahagia. Pertanyaannya, kira-kira siapa yang dapat dengan pasti menjalankan kehidupannya dari Terang ke Terang? Bila anda menjawab seorang Bhikkhu yang dengan 227 silanya, maka jawaban anda salah. Mengapa begitu? Dikarenakan moralitas hanyalah dapat mencegah perbuatan buruk yang berasal dari ucapan dan tindakan jasmani. Sila tidak dapat mencegah pikiran buruk, pikiran yang bersekutu dengan 3 noda keburukkan tadi. Lalu, kalau anda menjawab orang yang sudah mencapai Jhana. Itu juga salah. Mencapai Jhana pun tidak kekal, jangankan Jhana, kekuatan abhinna saja dapat hilang. Jadi pencapaian Jhana bukanlah jaminan seseorang akan terlahir di alam bahagia, karena jhana tidak dapat membasmi kotoran mental (kilesa).

Ada satu kisah tentang seorang Bhante bernama Tissa yang tinggal di kota Savatthi. Pada suatu hari, ia mendapatkan jubah yang bagus dan merasa sangat puas. Ia berencana memakai jubah tersebut keesokkan harinya, tapi sayangnya ia meninggal malam itu juga. Karena kemelekatannya yang begitu kuat terhadap jubah itu, ia lahir kembali menjadi seekor kutu dan tinggal dalam lipatan jubah tersebut. Karena ia tidak mewariskan jubah tersebut kepada siapapun, maka jubah tersebut direncanakan akan dipotong-potong oleh bhikkhu yang lain untuk dibagikan kepada para bhikkhu lain. Kutu itu menjadi semakin gelisah, galau, dan merana, ia berteriak-teriak, "Mereka akan menghancurkan jubahku." Untungnya, Sang Buddha mendengar teriakan tersebut dan meminta para bhikkhu untuk tidak melakukan hal tersebut sebelum hari kedelapan.

Sampai di hari pembagian, para bhikkhu bertanya apakah alasan Sang Buddha menunda pembagian sampai hari kedelapan. Sang Buddha pun bercerita mengenai Bhikhhu Tissa yang begitu melekat dengan jubah tersebut sampai lahir kembali jadi kutu di dalam lipatan jubah tersebut. Buddha berkata, "Kalau kalian akan melakukan pembagian jubah tersebut, ia akan merasa sangat menderita dan berlari kesana kemari dalam lipatan jubah tersebut. Dia akan merasa sangat kesal kepada kalian dan akibatnya dia akan terjatuh ke alam neraka. Sekarang dia terlahir di alam dewa Tusita, oleh karena itu, Saya mengijinkan kalian mengambil jubahnya. Sesungguhnya bhikkhu, kemelekatan amatlah berbahaya, bagaikan karat yang merusak besi tempat dia berasal; kemelekatan akan menghancurkan seseorang dan membawanya ke neraka."

Pada masa hidupnya, bhikkhu Tissa mampu menjaga sila kebhikkhuannya dengan baik (hasilnya terlahir di alam dewa Tusita). Namun, bukan berarti sila tersebut bisa mencegah timbulnya keserakahan di pikirannya. Lalu, siapakah yang bisa menjalankan kehidupan dari Terang menuju Terang dengan benar? Jawabannya, orang yang mampu selalu melakukan perbuatan baik atau tidak pernah sama sekali melakukan perbuatan buruk. Siapakah mereka? Mereka adalah para Arahat, orang yang telah terbebas dari 3 noda. Apakah ada orang yang walaupun masih mempunyai kekotoran mental tapi pasti akan menuju ke keadaan Terang? Ya, ada, mereka adalah tiga orang suci di 3 tingkatan lainnya, Sotapanna, Sakadagami, dan Anagami. Kenapa bisa demikian? Karena kekotoran mental mereka tidak cukup kasar, sehingga tidak dapat membuat mereka terjatuh ke alam rendah.

Semua orang yang belum mencapai kesucian, hidupnya belumlah pasti. Kadang bisa berada di Gelap, kadang berubah ke Terang, atau sebaliknya. Mereka masih penuh dengan ketidakpastian, bagaikan kertas yang dijatuhkan dari sebuah gedung yang tinggi, terombang-ambing. Jatuhnya pun tergantung arah angin, bisa jatuh ke selokan, ke atap rumah, tersangkut di pohon, dll. Sama seperti tipe manusia yang belum mencapai kesucian masih akan terombang-ambing di 26 alam kehidupan (31 alam  5 alam khusus Anagami). Kalau sudah mencapai kesucian, jalan hidupnya lebih penuh kepastian. Contohnya, seorang Sotapanna. Sang Buddha memberikan perumpamaan tentang penderitaan yang telah dikikis oleh seorang Sotapanna bagaikan jumlah debu yang berada di ujung kuku-Nya, bagaikan jumlah penderitaan yang tersisa (7) dan akan dikikis habis seluruhnya dalam waktu tidak lebih dari tujuh kehidupan.

Jadi syarat minimum kalau mau menjadi manusia jenis keempat ini, ya berjuang minimum mencapai Sotapanna. Apakah mustahil? Tidak. Kesucian hanya dapat dicapai dengan membasmi kilesa dan kilesa hanya dapat dibasmi oleh kebijaksanaan pandangan terang adiduniawi (lokuttara nana). Sedangkan, kebijaksaan tersebut hanya dapat dicapai melalui latihan meditasi vipassana, jadi tidak cukup hanya menjalankan dana, sila, dan konsentrasi (samadhi).

Anda mencintai diri anda bukan? Kalau diminta memilih jadi manusia yang tipe mana, pasti ingin yang nomor 4 bukan? Seorang yang bijaksana tidak akan membiarkan dirinya menderita, apalagi sampai jatuh keempat alam rendah. Seseorang yang bijaksana akan berjuang untuk memastikan dirinya menuju kehidupan yang lebih baik dan lebih baik lagi. Tapi, prosesnya kan tidak enak? Anda mau tidak enak sebentar saja atau tidak enak lama dan di kehidupan berikutnya? Atau anda mau lahir menjadi seperti kutu jubah tadi? Atau anda sudah yakin tujuan anda adalah Nibbana? Caranya telah diberitahukan, keputusan anda di tangan anda.

Semoga setelah anda membaca ulasan ini, timbul hasrat / semangat untuk segera terbebas dari semua bentuk kehidupan (samvega), karena semua bentuk kehidupan adalah penderitaan. Berlatihlah dengan sungguh-sungguh dan sadarilah bagaimanapun kondisi hidup anda, itulah hasil yang anda tanam sendiri. Semoga apa yang kita cita-citakan, dengan tekad dan ketulusan bisa membawa kita menuju jalan yang Terang! Sadhu, Sadhu, Sadhu!

"Bukan karena aku terlahir dalam kondisi gelap maupun terang yang menjadi penentu aku bahagia atau menderita pada kehidupan saat ini maupun yang akan datang. Tapi hendaknya diingat bahwa bahagia atau menderitanya diri ini adalah karena benih karma yang kita tabur, benih perbuatan kita sendiri. Aku adalah pelindung diriku sendiri. Bahagia atau menderitanya diriku ini ditentukan oleh perbuatanku sendiri, bukan orang lain."

Komentar

Postingan Populer